300x250 AD TOP

Showing posts with label Sirah Sahabat. Show all posts
Showing posts with label Sirah Sahabat. Show all posts

20.6.15

Tagged under: ,

Ashim ibn Tsabit : Jasadnya dilindungi Lebah

www.jejakperadaban.com | Ashim ibn Tsabit seorang yang jasanya dilindungi lebah
jejakperadaban.com | Sirah Sahabat Nabi
Ashim ibn Tsabit : Jasadnya dilindungi Lebah

Ashim ibn Tsabit, sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Aus keturunan Bani Dhubay. Ia mendapat kemuliaan tersendiri di sisi Allah.

Allah berfirman, "Kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang mukmin."

Pertolongan Allah sungguh Mahaluas. Dialah sebaik-baik penjaga bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Pertolongan Allah tak ada habisnya diberikan kepada orang beriman siang dan malam, karena Dia tak pernah tidur atau pun lelah.

Ashim ibn Tsabit ibn Abu al-Aqlah al-Anshari al-Ausi adalah orang yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya serta kaum Muslim. Ia kerap disapa dengan nama Abu Sulaiman. Ia termasuk golongan yang disebutkan dalam firman Allah:

Orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang Muhajirin dan Ansar dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka, dan mereka pun rida kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya. Mereka kekal didalam selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 100)

Ashim termasuk dalam golongan orang yang pertama-tama masuk islam (As-Sabiqun Al-Awalun). Perang badar menjadi pembuktian keimanan bagi kaum Muslimin. Perang itu menjadi ujian besar, karena mereka harus mengahadapi pasukan yang jumlahnya lebih besar. Mereka sukses melewati ujian itu dan mendapat kemenangan yang besar. Ashim ikut serta dalam peperangan itu. Ia menyaksikan para pemuka Quraisy terkapar berkalang tanah

Suatu hari Rasulullah saw. mengajukan pertanyaan kerpada para sahabatnya tentang cara berperang, Ashim ibn Tsabit segera mengambil tombak dan prisainya, lalu menjawab, "Ketika musuh sudah dekat, kira-kira 200 hasta, senjata yang harus digunakan adalah panah. Jika jarak mereka kira-kira sepenombak, gunakanlah tombak untuk bertempur sampai tombak kita patah. Jika tombak sudah patah, singkirkan tombak, dan gunakanlah pedang untuk pertarungan jarak dekat."

Nabi saw. bersabda, "Begitulah perang dijalankan, barang siapa yang berperang hendaklah ia berperang seperti cara Ashim berperang."

Berbahagialah Ashim, karena pandanganya diakui oleh seorang manusia yang paling mulia dan sangat memahami cara-cara berperang. Ashim sendiri adalah salah seorang dari empat orang kebanggaan suku Aus. Tiga orang lainnya adalah Sa’d ibn Muaz yang kematiannya menggetarkan Arasy, Hanzalah ibn Abu Amir yang jenazahnya dimandikan para malaikat, dan Khuzaimah ibn Tsabit—pemilik dua kesaksian. Rasulullah saw. menyatakan bahwa kesaksian seorang Hanzalah setara dengan kesaksian dua laki-laki. Hanya Hanazalah seorang yang mendapat kemuliaan seperti itu.

Ashim ikut merasakan kecamuk Perang Badar yang sangat dahsyat. Saat itu, kaum muslimin menyaksikan bagaimana para pemuka kafir tewas terbunuh. Hari Badar menjadi salah satu bukti yang menegaskan kemuliaan Islam dan kesesatan kaum musyrik.

Pada Perang Badar dan Uhud, Ashim membuktikan keberanian dan kepahlawannya. Di Perang Badar, Rasulullah saw. menyuruhnya membunuh pemimpin Quraisy kedua setelah Abu Jahal, yaitu Uqbah ibn Abu Mu'ith, yang berhasil membunuh Musafi dan Kilab—dua bersaudara putra Thalhah ibn Abu Thalhah; keduanya terkapar oleh anak panah Ashim. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, salah seorang dari dua bersaudara itu berkata kepada ibunya bahwa orang yang memanahnya berkata, "Rasulullah! Aku adalah Ibn Abu Al-Aqlah." Salafah bersumpah bahwa ia minum arak dari tengkorak kepala Ashim.

Pada tahun keempat hijriah datang para utusan dari beberapa penjuru Jazirah ke Madinah. Mereka menghadap Rasulullah saw. dan bersyahadat. Mereka memohon agar beliau mengutus beberapa sahabat untuk mengajarkan agama dan membacakan Al-Quran kepada kaum mereka. Maka, beliau menyuruh enam orang sahabatnya untuk mengemban tugas itu. Mereka adalah Martsad ibn Abu Martsad—pemimpin rombongan, Ashim ibn Tsabit ibn Abu al-Aqlah, Khalid ibn al-Bukair, Khubaib ibn Adi, Zaid ibn al-Datsinah dan Abdullah ibn Thariq.

Namun, saat rombongan itu tiba di mata air al-Raji, milik suku Hudzail, keenam sahabat itu dikepung. Ketika mereka meminta bantuan kepada suku Hudzail, tak seorang pun mau menolong. Tak ada jalan lain, mereka hunus sejata masing-masing dan siap bertarung. Namun, para penyerang itu berkata, "Demi Allah, kami tak ingin membunuh kalian. Kami ingin membawa kalian kepada penduduk Makkah agar kami mendapat imbalan."

Mereka berjanji tidak akan menyakiti para sahabat itu, namun Martsad ibn Abu Martsad, Ibn al-Bukair, dan Ashim menolak tawaran mereka. Ketiganya berkata, "Demi Allah, kami tidak menerima janji atau ikatan apa pun dari orang musyrik."

Ketiga Sahabat itu memilih untuk bertarung hingga mereka terbunuh. Sementara tiga sahabat lainnya, yaitu Zaid, Khubaib, dan Ibn Thariq memilih ditawan, berharap mereka akan selamat di Makkah. Para penyerang itu memutuskan tali busur panah mereka, dan mengikat ketika tawanan dengan tali busur tersebut. Baru beberapa saat rombongan itu berjalan, Abdullah ibn Thariq berhasil melepaskan ikatan, lalu merebut pedang dan menyerang musuh. Sayang, musuh melihat upayanya itu dan langsung melemparkan batu besar ke arahnya hingga ia wafat. Jasadnya dikuburkan di daerah Zahran.

Mereka melanjutkan perjalan mengiring Khubaib dan Zaid hingga tiba di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan ibn Umayyah, sementara Khubaib dibeli oleh hajar ibn Abu Ihab al-Tamimi untuk diberikan kepada Uqbah ibn al-Harits ibn Amir. Keduanya dibeli untuk dibunuh sebagai balas dendam atas kematian anggota keluarga mereka dalam Perang Badar dan Perang Uhud.

Setelah berhasil membunuh Ashim ibn Tsabit, suku Hudzail bermaksud memenggal kepalanya untuk dijual kepada Salafah bin Sa’d yang pernah bersumpah akan minum arak dari tengkorak Ashim. Ketika mereka mendekatu jasad Ashim, tiba-tiba gerombolan lebah menutupi tubuh Ashim bagaikan awan hitam. Mereka tak dapat mendekati apalagi menyentuh jasad Ashim untuk memenggal kepalanya. Lebah itu adalah tentara Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.

Menyaksikan kejadian tersebut, mereka berkata satu sama lain, "Lebih baik kita tunggu sampai malam hingga lebah-lebah itu pergi. Baru kemudian kita ambil jasadnya." Saat mereka menunggu, tiba-tiba mencul air bah dari atas bukit menghanyutkan jenazah Ashim. Hanya Allah yang tahu ke mana jenazah itu hanyut.

Ketika mendengar kabar tentang Ashim, Umar ibn al-Khattab berkata, "Sungguh ajaib cara Allah menjaga hamba-Nya yang beriman. Ashim pernah bersumpah tidak akan disentuh dan menyentuh seorang musysrik pun selama hidupnya. Maka, Allah menjaganya setelah ia wafat sebagaimana Dia menajaganya semasa hidup." Benar, siapa saja yang benar-benar memegang janji kepada Allah, niscaya Dia akan memenuhi janji-Nya.

Wallahu a'lam
Semoga Allah merahmati.[]

19.6.15

Tagged under: ,

Arabah ibn Aus : Seorang yang Mengejar Kematian

jejakperadaban.com | Sirah Sahabat Nabi
Arabah ibn Aus : Seorang yang Mengejar Kematian


Arabah ibn Aus adalah salah seorang sahabat nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Aus, keturunan Bani Haritsi. Ayahnya bernama Aus ibn Qaizhi ibn Amr, seorang pemuka munafik dan dikisahkan ia pernah berkata, "Sesungguhnya rumah-rumah kami ini adalah aurat." Namun, putranya Arabah adalah seorang mukmin yang saleh.

Saat perang Uhud, Arabah ibn Aus bergabung dalam barisan kaum muslimin. Ketika itu ada beberapa remaja yang tidak diizinkan ikut serta oleh Rasulullah saw., termasuk di antaranya Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab, Usaid ibn Zuhair, al-Barra ibn Azib, Abu Said al-Khudri, samurah ibn jundab, dan Arabah ibn Aus.

Arabah ibn Aus sendiri merupakan salah seorang pemuka kaumnya. Ia terkenal dengan kedermawanannya, bahkan disejajarkan dengan Abdullah ibn Ja’far ibn Abu Thalib dan Qais ibn Said ibn Ubadah.

Ibn Qutaibiah dan al-Mubarrad menuturkan bahwa Arabah pernah bertemu al-Syamakh menanyakan maksud kedatangnya ke Madinah, Arabah menjawab, "Aku ingin memberikan makanan kepada keluargaku." Saat itu, Arabah membawa dua ekor unta yang membawa kurma, gandum, dan beberapa helai pakaian. Al-Syamakh sangat mengagumi kedermawanannya. Saat keluar dari Madinahm al-Syamakh melantunkan syair memuji Arabah:

Kulihat Arabah al-Ausi memberikan kebaikan kepada keluarganya

Andai panji kemuliaan dikibarkan pasti ia pegang dengan tangan kanan

Arabah tidak hanya memberikan harta benda di jalan Allah, tetapi ai pun rela memberikan nyawanya untuk menjadi syahid. Tidak ada catatan, termasuk dalam karya Ibn al-Atsir, yang menceritakan kematian Arabah. Semoga Allah merahmatinya.[]
Tagged under: ,

Said ibn Zaid : Seorang Pemeluk Agama Hanif

jejakperadaban.com | Sirah Sahabat Nabi
Said ibn Zaid : Pemeluk Agama Hanif

Said ibn Zaid adalah seorang sahabat Nabi dari suku Quraisy, keturunan Bani Adi. Ayahnya bernama Zaid ibn Amr ibn Nufail dan ibunya Fatimah bint Ba’jah al-Khuza’iyah. Ia adalah suami Fatimah bint al-Khattab—adik perempuan Umar ibn al-Khattab. Said dan Fatimah menjadi sebab masuk islam-nya Umar r.a. Said kerap disapa dengan panggilan Abul A’war.

Khabbab ibn al-Arats sering mengunjungi rumah said ibn Zaid untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada pasangan itu. Suatu hari ketika mereka membaca surah Thaha, tiba-tiba pintu rumah digedor keras, Khabbab segera bersembunyi di sudut rumah, sementara Fatimah buru-buru membuka pintu. Ternyata di depan pintu telah berdiri kakaknya sendiri, Umar ibn al-Khattab, dengan pedang terhunus ditangan. Raut mukanya memerah menunjukan kemarahan. Seujurs kemudian Umar berkata, “Benarkah omongan yang kudengar bahwa kalian telah mengikuti Muhammad dan ajarannya?”

Mereka tak menjawab, diam seribu bahasa. Umar berkata lagi, “Perlihatkan kepadaku mushaf yang kalian barusan baca.”

Mereka berusaha menyembunyikan mushaf itu. Ketiak kemarahannya memuncak, Umar melayangkan tinju kepada Said ibn Zaid hingga jatuh tersungkur. Saat Fatimah mencoba menjauhkan Said dari Umar, Fatimah pun ditampar dengan keras hingga hidungnya mengeluarkan darah. Mushaf yang ia pegang pun terjatuh. Melihat darah yang keluar dari sela-sela bibir adiknya, kemarahan Umar reda dan ia diam terpaku.

Dengan suara yang tidak lagi keras Umar berkata, “Berikan mushaf itu agar aku bisa melihat isinya. Aku berjanji akan mengembalikannya kepadamu.”

Fatimah menjawab, “Kau adalah najis yang kotor, kau tidak pantas menyentuh sebelum bersuci.” Umar pun bersuci mengikuti petunjuk Fatimah. Setelah itu ia membuka mushaf Al-Qur’an dan membaca firman Allah:

Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an agar kamu menjadi susah. (QS. 1-2)






Umar berkata, “Betapa indah rangkaian kata-kata ini!”

Saat mendengar ucapan Umar, Khabbab keluar dari persembunyiannya dan mengajak Umar ke rumah al-Arqam ibn Abu al-Arqam, tempat Nabi saw, berkumpul dengan para sahabat. Umar mengikuti langkah kaki Khabbab, dan setibanya di sana ia langsung menyatakan keimanannya di hadapan Rasulullah saw, Sejak keislaman Umar, kekuatan kaum muslim semakin kokoh.

Selama hidupnya Said mengikuti berbagai peristiwa bersama Rasulullah saw. namun, ia dan Thalhah tidak ikut serta dalam Perang Badar, karena Nabi saw. mengutus mereka ke Syam untuj mempelajari dan mengetahui keadaan negeri itu. Keduanya termasuk dalam sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Said adalah orang yang dikabulkan do’anya. Ia pernah dituduh mengambil tanah milik seorang wanita bernama Awra bint Aus, dan diadukan kepada Marwan ibn al-Hakam penguasa Madinah. Said bilang kepada Marwan, “Apakah engkau melihatku menzaliminya? Sedangkan aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa yang menzalimi (mengambil) sejengkal tanah maka pada hari kiamat akan dikalungkan kepadanya tujuh (lapis) bumi.’ Ya Allah, jika wanita ini berdusta maka jangan Kau wafatkan ia sebelum buta, dan jadikan kuburnya di dalam sumurnya.”

Doanya dikabulkan oleh Allah sehingga tidak lama selang wanita itu jatuh ke dalam sumur setelah mengalami kebutaan.

Said ibn Zaid ikut dalam Perang Yarmuk dan pengepungan Damaskus. Ia wafat di al-Aqiq, sebuah daerah yang tak jauh dari Madinah. Ibn Umar termasuk di antara sahabat yang ikut menyalati jenazahnya. Semoga Allah merahmatinya.[]

26.3.15

Tagged under: ,

Abu Khudzaifah ibn Uthbah : Meninggalkan kemuliaan dunia demi Islam

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sirah Sahabat Nabi
Abu Khudzaifah ibn Uthbah : Meninggalkan kemuliaan dunia demi Islam

Abu Khudzaifah ibn Uthbah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Quraisy. Bapaknya adalah Uthbah ibn Rabi dan ibunya adalah Fatimah bint Shafwan ibn Umayyah. Ia termasuk orang yang masuk Islamdi awal dakwah Nabi saw. Bapaknya tidak suka ketika ia masuk Islamdan mengikuti Nabi Muhammad saw., karena ia telah digadang-gadang untuk menjadi pemimpin suku Quraisy. Keimanannya yang teguh mendorongnya keluar dari lingkungan kebangsawanan Quraisy bersama istrinya Sahlah bint Suhail ibn Amr. Ia berhijrah ke Absinia mengikuti anjuran Nabi saw. bersama beberapa sahabat lain.

Perawakannya tinggi dan wajahnya tampan dengan gigi yang gingsul. Pulang dari Absinia, ia bersama istrinya kembali menempuh perjalanan hijrah menuju Madinah.

Abu Khudzaifah setia mengikuti Nabi saw. Ia selalu menghadiri majelis ilmu yang digelar oleh beliau dan tak pernah absen dari peperangan bersama Nabi. Dalam perang Badar, ia memainkan peran penting. Namanya tak dapat dilepaskan dari peristiwa besar dalam sejarah Islam ini. Karena keluarga terdekatnya adalah para pemimpin Quraisy, yaitu Uthbah, pamannya Syaibah, dan saudaranya al-Walid; ketiga orang itu adalah pentolan Quraisy yang maju untuk duel satu-satu dengan kaum Muslimin.

Abu Khudzaifah ingin menghadapi mereka untuk duel, tetapi kemudian terlihat ia ragu maka Rasulullah saw. mencegahnya. Melihat itu, Hindun bint Uthbah, atas perintah Abu Sufyan, mencelanya dan berseru, "Sungguh kau orang yang tidak tahu terimakasih. Orangtuamu telah merawatmu sejak kecil. Saat beranjak dewasa, kau malah berbalik memusuhinya dengan sengit. Sungguh kau tak tahu diuntung. Dasar gingsul jangkung tak tahu untung! Sungguh Abu Khudzaifah adalah manusia yang bejar agamanya!"

Tentu saja ucapan Hindun itu sarat dengan dusta. Abu Khudzaifah adalah orang yang baik dalam beragama; keimanannya kepada Allah dan Rasulullah saw. tak tergoyahkan. Justru, wanita yang mencela itulah yang bejat agamanya. Pada akhirnya, yang mewakili kaum Muslimin berduel bersama ketiga orang tadi adalah; Hamzah, Ali, dan Ubaidah.

Singkat sejarah, setelah kedua pihak selesai berduel dengan kemenangan kaum Muslimin, mereka siap-siap untuk berperang. Rasulullah saw. mengingatkan untuk tidak membunuh beberapa orang di antara kaum Quraisy kecuali terpaksa. Termasuk di antaranya al-Abbas, paman Rasulullah saw.

Ketika mendengar peringatan tersebut, Abu Khudzaifah berkata, "Kita akan berperang dengna kemungkinan membunuh bapak, anak-anak, saudara-saudara, dan keluarga kita, tetapi tidak boleh membunuh al-Abbas? Demi Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan menebasnya dengan pedang!"

Ternyata sambaran Abu Khudzaifah itu sampai terdengar kepada Rasulullah saw., yang kemudian beliau memanggil Umar ibn Khaththab, dan menanyakan, "Wahai Abu Hafs, apakah kau mendengar ucapan Abu Khudzaifah yang mengatakan akan menebas paman Rasulullah dengan pedangnya?!"

Umar ibn Khaththab menjawab, "Wahai Rasulullah saw., izinkan aku memenggal lehernya dengan pedang. Demi Allah, ia telah menjadi orang munafik."

Tetapi sesaat sebelum 'kemurkaan' Umar sampai pada leher Abu Khudzaifah, ia menarik ucapannya dan memberikan alasan bahwa kata-katanya terlontar begitu karena ia tengah dihantui rasa takut

Beberapa riwayat mengatakan: Rasulullah saw. bersabda, "Wahai orang yang ragu-ragu, seburuk-buruk ucapan adalah ucapan kalian; kalian mendustakanku ketika orang lain membenarkanku, kalian mengusirku ketika orang lain melindungiku, kalian memerangiku ketika orang lain menolongku. Apakah kini kalian menyadari bahwa apa yang Tuhan kalian janjikan adalah kebenaran?"

Menurut Muhammad Ishaq, sabda Nabi saw., tersebut adalah untuk mengingatkan sahabat-sahabatnya untuk tidak ragu.

Abu Khudzaifah selalu ikut berperang bersama Rasulullah saw. Dia pun ikut bersama Khalid ibn al-Walid menuju medan perang Yamamah, ditemani budaknya yang setia, Salim, untuk memerangi sang nabi palsu, Musailamah al-Kazzab. Allah memenangkan kebenaran di atas kebathilan dan kesesatan. Musailamah --sang nabi palsu- terbunuh dalam peperangan itu. Sama halnya, Abu Khudzaifah dan Salim wafat bersama sejumlah sahabat yang lain.[]

Wallahu a'lam

24.3.15

Tagged under: ,

Abu Hurairah : Otaknya menjadi pembendaharaan wahyu

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Abu Hurairah : Otaknya menjadi pembendaharaan wahyu

Memang benar, bahwa kepintaran manusia itu mempunyai akibat yang merugikan dirinya sendiri. Dan orang-orang yang mempunyai bakat-bakat istimewa, banyak yang harus membayar mahal, justru pada waktu ia patut menerima ganjaran dan penghargaan.

Shahabat mulia Abu Hurairah termasuk salah seorang dari mereka. Sungguh, dia mempunyai bakat luar biasa dalam kemampuan dan kekuatan ingatan/ Abu Hurairah r.a. mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya, sedang ingatannya mempunyai keistimewaan dalam segi menghafal dan menyimpan. Didengarya, ditampungnya, lalu terpatri dalam ingatannya hingga dihafalkannya, hampir tak pemah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari apa yang telah didengarnya, sekalipun usia bertambah dan masa pun telah berganti-ganti. Oleh karena itulah, ia telah mewakafkan hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah saw. sehingga termasuk yang terbanyak menerima dan menghafal Hadits, serta meriwayatkannya.

Sewaktu datang masa pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja menciptakan hadits-hadits bohong dan palsu, seolah-olah berasal dari Rasulullah saw. mereka memperalat nama Abu Hurairah dan menyalahgunakan ketenaranya dalam meriwayatkan Hadits dari Nabi saw., hingga sering mereka mengeluarkan sebuah "hadits", dengan menggunakan kata-kata: "Berkata Abu Hurairah... "

Dengan perbuatan ini hampir-hampir mereka menyebabkan ketenaran Abu Hurairah dan kedudukannya selaku penyampai Hadits dari Nabi saw. menjadi lamunan keragu-raguan dan tanda tanya, kalaulah tidak ada usaha dengan susah payah dan ketekunan yang luar biasa, serta banyak waktu yang telah di habiskan oleh tokoh-tokoh utama para ulama Hadits yang telah membaktikan hidup mereka untuk berhidmat kepada Hadits Nabi dan menyingkirkan setiap tambahan yang dimasukkan ke dalamnya.

Di sana Abu Hurairah berhasil lolos dari jaringan kepalsuan dan penambahan-penambahan yang sengaja hendak diselundupkan oleh kaum perusak ke dalam Islam, dengan mengkambing hitamkan Abu Hurairah dan membebankan dosa dan kejahatan mereka kepadanya.

***

Ia adalah salah seorang yang menerima pantulan revolusi Islam, dengan segala perubahan mengagumkan yang diciptakannya. Dari orang upahan menjadi induk semang atau majikan.

Dari seorang yang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia, menjadi imam dan ikutan; Dan dari seorang yang sujud di hadapan batu-batu yang disusun, menjadi orang yang beriman kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Inilah dia sekarang bercerita dan berkata:

"Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada Busrah binti Ghazwan demi untuk mengisi perutku. Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka sedang menetap; menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah ikutan ummat!"

***

Ia datang kepada Nabi saw. di tahun ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar. Ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan. Semenjak ia bertemu dengan Nabi saw. dan berbai'at kepadanya, hampir-hampir ia tidak berpisah lagi kecuali pada saat-saat waktu tidur. Begitulah, masa empat tahun yang dilaluinya bersama Rasulullah saw., yakni sejak ia masuk islam sampai wafatnya Nabi, pergi ke sisi Yang Maha Tinggi.

"Waktu yang empat tahun itu tak ubahnya bagai suatu usia manusia yang panjang lebar, penuh dengan segala yang baik, dari perkataan, sampai kepada perbuatan dan pendengaran."

***

Dengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapat kesempatan besar yang memungkinkannya untuk memainkan peranan penting dalam berbakti kepada Agama Allah.

Pahlawan perang dikalangan shahabat, banyak...
Ahli fiqih, juru da'wah dan para guru juga tidak sedikit.

Tetapi lingkungan dan masyarakat memerlukan tulisan dan penulis. Di masa itu golongan manusia pada umumnya, jadi bukan hanya terbatas pada bangsa Arab saja, tidak mementingkan tulis menulis. Dan tulis menulis itu belum menjadi bukti kemajuan di masyarakat manapun.

Bahkan Eropa sendiri juga demikian keadaannya, sejak kurun waktu yang belum lama ini. Kebanyakan dari raja-rajnya, tidak terkecuali Charlemagne sebagai tokoh utamanya, adalah orang-orang yang buta huruf, tak tahu tulis baca, padahal menurut ukuran masa itu, mereka memiIiki kecerdasan dan kemampuan besar.

***

Kembali kita pada pembicaraan untuk melihat Abu Hurairah, bagaimana ia dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, yaitu kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajaran Rasulullah saw. Pada waktu itu memang para shahabat mampu menulis, tetapi jumlah mereka sedikit sekali, apalagi sebagiannya tak mempunyai kesempatan untuk mencatat Hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasul.

Sebenamya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir, di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu, karena ia tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan diurus.

Ia pun menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan cara mengikuti Rasul terus menerus dan secara tetap menyertai majlisnya. Kemudian disadarinya pula, ada bakat pemberian Allah ini pada dirinya, berupa daya ingatannya yang luas dan kuat, serta semakin bertambah kuat, tajam dan luas lagi dengan do'a Rasul, agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.

Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Ilahi untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting ini dan mewariskannya kepada generasi kemudian.

Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal Hadits-hadits Rasulullah saw. dan pengarahannya. Sewaktu Rasul telah pulang ke Rafikul'Ala (wafat), Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan Hadits hadits, yang menyebabkan sebagian shahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya hadits-hadits ini, kapan didengarya dan diendapkannya dalam ingatannya.

Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari putra shahabatnya, maka katanya, "Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan Hadits dari Nabi saw. Dan tuan-tuan katakan pula orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada yang menceritakan hadits-hadits itu? Ketahuilah, bahwa sahabat-sahahabatku, orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku, orang-orang Anshar sibuk degan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain absen dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan.

Dan Nabi saw. pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata beliau:

'Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarya dari padaku,'

Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang terlupa bagiku dari apa yang telah kudengar daripadanya. Demi Allah kalau tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikit jua pun! Ayat itu ialah:

'Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah Kami nyatakan kepada manusia di dalam Kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (Malaikat-malaikat)'"

Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan rahasia kenapa hanya ia seorang diri yang banyak mengeluarkan riwayat dari Rasulullah saw.

Yang pertama: karena ia melowongkan waktu untuk menyertai Nabi lebih banyak dari para shahabat lainnya.

Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang kuat, yang telah diberi berkat oleh Rasul, hingga ia jadi semakin kuat.

Ketiga, ia menceritakannya bukan karena ia gemar bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadits ini, merupakan tanggung jawabnya terhadap Agama dan hidupnya. Kalau tidak dilakukannya berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalai yang sudah tentu akan menerima hukuman kelalaiannya.

Oleh sebab itulah, ia harus saja memberitakan. Tak suatupun yang menghalanginya dan tak seorang pun boleh melarangnya hingga pada suatu hari Amirul Mu'minin Umar berkata kepadanya: "Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, maka akan kukembalikan kau ke tanah Daus!" (yaitu tanah kaum dan keluarganya).

Tetapi larangan ini tidaklah mengandung suatu tuduhan bagi Abu Hurairah, hanyalah sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dianut oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tersebut, tidak membaca dan menghafalkan yang lain, kecuali al-Quran sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran.

Oleh karena ini, Umar berpesan: "Sibukkanlah dirimu dengan Al-Quran karena dia adalah kalam Allah". Dan katanya lagi: "Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah kecuali yang mengenai amal perbuatannya!"

Dan sewaktu beliau mengutus Abu Musa al-Asy'ari ke Irak ia berpesan kepadanya: "Sesungguhnya kamu hendak mendatangi suatu kaum yang dalam mesjid mereka terdengar bacaan al-Quran seperti suara lebah, maka biarkanlah seperti itu dan jangan anda bimbangkan mereka  adengan hadits-hadits, dan aku menjadi pendukung anda dalam hal ini."

Al-Quran sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga terjamin keasliannya tanpa dirembesi oleh hal-hal lainnya. Adapun hadits, maka umar tidak dapat menjamin bebasnya dari pemalsuan atau perubahan atau diambilnya sebagai alat untuk mengada-ada terhadap Rasulullah saw. dan merugikan Agama Islam.

Abu Hurairah menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya terhadap dirinya dan teguh memenuhi amanat, hingga ia tak hendak menyembunyikan suatu pun dari Hadits dan ilmu selama diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.

Demikianlah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan isi dadanya berupa Hadits yang pernah didengar dan ditangkapnya tetap saja disampaikan dan dikatakannya.

Hanya terdapat pula suatu hal yang merisaukan, yang menimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah ini, karena seringnya ia bercerita dan banyaknya Hadits yang ia hafal, yaitu adanya tukang hadits yang lain yang menyebarkan Hadits-hadits dari Rasul saw. dengan menambah-nambah dan melebih-lebihkan hingga para sahabat tidak merasa puas terhadap sebagian besar dari Hadits-haditsnya. Orang itu namanya Ka'ab al-ahbaar, seorang Yahudi yang masuk Islam.

Pada suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal dari Abu hurairah. Maka dipanggilnya ia dan dibawanya duduk bersamanya, lalu dimintanya untuk mengabarkan hadits-hadits dari Rasusullah saw. Sementara itu disuruhnya penulis, menuliskan apa yang diceritakan Abu Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu tahun, dipanggilnya Abu Hurairah kembali dan dimintanya membacakan lagi Hadits-hadits yang dulu itu yang telah ditulis sekretarisnya. Ternyata tak ada yang terlupa oleh Abu Hurairah walau agak sepatah kata pun.

Ia berkata tentang dirinya: "Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits dari padaku, kecuali Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak."

Imam Syafi'i mengemukakan pula pendapatnya tentang Abu Hurairah: "la seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi Hadits sesamanya."

Sementara Imam Bukhari menyatakan pula: "Ada delapan ratus orang atau lebih dari sahabat tabi'in dan ahli ilmu yang meriwayatkan Hadits dari Abu Hurairah."

Demikianlah Abu hurairah tak ubah bagai suatu perpustakaan besar yang telah ditaqdirkan kelestarian dan keabadiannya.

Wallahu a'lam.
Semoga Allah merahmatinya.[]

23.3.15

Tagged under: ,

Mush'ab ibn Umair : Jika bagian kepala (jenazahnya) ditutupi, kakinya terlihat; pun sebaliknya.

Sejarah Sahabat Nabi | jejakperadaban.com
Mush'ab ibn Umair : Jika bagian kepala (jenazahnya) ditutupi, kakinya terlihat; pun sebaliknya.

Mush'ab ibn Umair adalah salah seorang sahabat dari suku Quraisy keturunan Bani Abdari. Ayahnya bernama Umair ibn Hasyim dan ibunya bernama Khunas bint Malik --ibu yang sangat dicintainya yang kemudian serig menekan dan menyiksanya setelah Mush'ab masuk Islam.

Ibunya dikenal sebagai wanita kaya raya. Bahkan, ia tak perlu pikir panjang jika anaknya, Mush'ab meminta sesuatu darinya. Pasti dikehdak-penuhi. Sehingga, pada saat itu Mus'ab dikenal sebagai seorang yang selalu tampil rapi dan wangi, melebihi orang Quraisy pada umumnya. Bahkan, kehadiran pemuda necis ini akan diketahui dari jarak beberapa jauh karena parfum yang diresapkan pada dirinya dapat tercium.

Namun, keadaan itu berubah 180 derajat ketika ia memeluk agama Allah swt. dan meninggalkan aqidah syiriknya. Pada awalnya ia mengunjungi rumah Al-Arqam ibn Abu al-Arqam untuk mendengarkan penuturan Rasulullah saw. tentang Islam. Ketertarikannya itulah yang membawanya memeluk Islam.

Seperti diceritakan sebelumnya, kehidupan Mush'ab sangatlah serba berkecukupan, jauh dari kesulitan, itupun masih terjadi selama ke-Islam-man nya masih dirahasiakan. Tetapi, ketika Utsman ibn Thalhah mengetahui rahasianya dan menceritakan perihal tersebut kepada Khunas, ibu Muhs'ab, yang kemudian secara seketika Khunas mengancam akan menghentikan kucuran harta yang selalu dialirkan pada Mush'ab. Tetapi Mush'ab tetap teguh kepada keimanan yang telah ia pancangkan sekarang. Ibunya tidak tahu bahwa harta takkan bisa mengalahkan kebahagiaan yang dialami Mush'ab ketika menganut Islam.

Akhirnya, Khunas mengurung putranya itu di sebuah ruangan sempit agar ia mau meninggalkan Agama Muhammad saw. Namun, suatu hari penjaga yang ditugaskan untuk mengawasi ruangan tersebut lalai sehingga Mush'ab dapat meloloskan diri, lalu bergegas menemui Rasulullah saw. walaupun harus meninggalkan segala kekayaannya.

Ketika tekanan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin makin menegang, Rasulullah saw. memerintakan para sahabatnya untuk berhijrah ke Absinia (Habasy) agar mereka dapat beribadah dengan tenang; Mush'ab termasuk salah satu di dalamnya.

Mendengar selentingan bahwa seluruh penduduk Mekkah sudah memeluk Islam seluruhnya, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekkah, hingga saat sedang di perjalanan didapati bahwa kabar tersebut adalah bohong. Maka sebagian dari sahabat kembali ke Absinia, dan sebagian lagi tetap melanjutkan ke Mekkah dan meminta perlindungan kepada sanak keluarga mereka secara diam-diam. Mush'ab sendiri memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Mekkah karena rasa rindu kepada Rasulullah saw.

Tiba di Mekkah, Mush'ab langsung menemui Rasulullah saw. dan duduk bersama sahabat dengan mengenakan pakaian yang telah lusuh (ada yang mengatakan pakaian yang terbuat dari kulit domba).

Sahabat terkejut melihat penampilan Mush'ab, seorang pemuda necis yang selalu tampil rapi dan parfum yang selalu tercium dari jarak beberapa jauh, kini tampil hanya dengan pakaian yang telah lusuh, pemandangan itu ternyata membuat beberapa sahabat menitikkan air mata.

Rasulullah saw. bersabda, "Mush'ab rela meninggalkan segala kenikmatan dan kemewahan hidup di sisi orang tuanya semata-mata adalah karena Allah dan Rasul-Nya."

Sungguh pakaian lusunya kelak akan diganti dengan pakaian yang jauh lebih mewah dan mulia.

Bintang Mush'ab benderang sejak peristiwa baiat Aqabah pertama, yang kala itu dua belas orang Yatsrib datang menghadap Rasulullah saw. untuk menyatakan ke-Islam-man mereka. Setelah berbaiat mereka meminta Rasulullah saw. untuk mengutus salah seorang -- dari yang telah berislam, untuk menyertai mereka ke Yatsrib; mengajarkan  Islam dan membacakan ayat-ayar suci. Mush'ab dipilih oleh Rasulullah saw. untuk mengemban tugas yang mulia itu.

Di Yatsrib, Mush'ab dikenal dengan sebutan Al-Safir Al-Muqri (Pengembara yang membacakan Al-Qur'an)

Mush'ab mengajarkan islam dengan dakwah sembunyi-sembunyi; menjaga agar pemuka Yatsrib tak merasa dihinakan. Dengan gerakan dakwah yang nyaris tiada kentara, semakin banyak penduduk Yatsrib yang menyatakan ke-Islam-man mereka. Apalagi setelah dua orang pemuka mereka Sa'd ibn Muaz dan Usaid ibn Khudhair juga menyatakan bahwa mereka menjadi Muslim.

Rasulullah tidak pernah benar-benar meninggalkan Mush'ab untuk berdakwah sorang diri. Beliau saw. kerap mengirimi surat tentang apaapa saja yang harus Mush'ab lakukan di Yatsrib. Seperti pada sebuah surat yang dikirimkan, yang bertuliskan, "Perhatikanlah hari yang di dalamnya orang Yahudi membuat keramaian untuk tradisi Sabat mereka. Jika matahari telah tergelincir, menghadaplah kepada ALlah dengan mendirikan shalat dua rakaat dan sampaikanlah khutbah kepada mereka."

Untuk melaksanakan perintah Rasulullah saw. itu, Mush'ab mengumpulkan kaum Muslimin yang saat itu baru berjumlah dua belas orang, di rumah Sa'd Khaitsamah. Itulah shalat jum'at pertama yang didirikan kaum Muslimin sebelum Nabi sendiri melaksanakannya dan sebelum surat al-Jumu'ah diturunkan.

Setelah Rasulullah hijrah ke Yatsrib (Madinah), kaum Muslimin mulai berusaha mengokohkan posisi mereka di antara bangsa-bangsa Arab, dan terlibat dalam beberapa perang kecil maupun besar. Tidak lama, kurang lebih delapan bulan setelah hijrah, kaum Muslimin terlibat peperangan melawan kaum Musyrik di Badar Mush'ab menjadi salah satu jundi dalam perang itu. Para perang berikutnya, yaitu perang Uhud, Mush'an ditugaskan membawa panji Rasulullah saw. Ia gugur sebagai syahid dalam perang tersebut akibat serangan Qamiah al-Laitsi. Ketika hendak dimakamkan, Mush'ab hanya mengenakan pakaian yang sangat pendek, yang jika ditarik untuk menutupi bagian kepalanya maka bagian kakinya terlihat; pun sebaliknya. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Tutupilah kepalanya! Dan tutupi bagian kakinya dengan ilalang."

Pada saat itu turun firman Allah:

Di antara orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu, dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)."

Semoga Allah merahmatinya.[] 

23.2.15

Tagged under: , ,

Umair ibn al-Humam : Berlomba mencapai syahid

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Umair ibn al-Humam : Berlomba mencapai syahid.

Umair ibn al-Humam seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar keturunan Bani Sulami. Setelah Rasulullah saw. tiba di Yatsrib, beliau mengubah nama kota itu menjadi Madinah dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar serta memerintahkan pembangunan Masjid Nabawi. Umair ibn al-Humam al-Anshari dipersaudarakan dengan Ubaidah ibn al-Harits.

Saat terjadi perang Badar, Umair dan Ubaidah ikut serta bersama Nabi saw. memerangi kaum musyrik. Menurut kebiasaan waktu itu, jika kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, maka mereka akan melakukan perang tanding terlebih dahulu sebelum perang sebenarnya dimulai. Tiga orang musyrik maju di antara dua barisan, yaitu Utbah ibn Rabiah, al-Walid ibn Utbah, dan Syaibah ibn Rabiah. Mereka menantang kaum muslimin untuk berduel. Maka, tiga pemuda Anshar maju untuk meladeni tantangan mereka. Kereka mereka memperkenalkan diri, pihak musyrik berkata, "Kami tak punya urusan dengan kalian."

Lalu, kafir Quraisy itu kembali menyerukan dengan lantang, "Wahai Muhammad, perintahkanlah tiga orang dari kaum kami (Muhajirin) yang pantas menghadapi kami!"

Kemudian Nabi saw. memerintahkan kepada Ubaidah, Hamzah, dan Ali untuk meladeni mereka. Ketika mereka telah berhadap-hadapan, kaum musyrik itu berkata, "Siapa kalian?"

Ubaidah menjawab, "Ubaidah."
Hamzah berkata, "Hamzah."
Ali berkata, "Ali."

Mereka berkata lagi, "Ini baru lawan yang sebanding."

Ubaidah melawan Utbah, Hamzah melawan Syaibah, dan Ali melawan al-Walid. Ali dapat membutuh al-Walid dengan cepat, begitu pula Hamzah yang dapat segera membunuh Syaibah. Sedangkan Ubaidah dan Utbah terlihat masih berkelahi dengan sengit. Keduanya terluka oleh sabetan pedang lawannya masing-masing. Ali dan Hamzah mengayunkan pedangnya dan menuntaskan perlawanan Utbah. Kemudian keduanya mengangkat tubuh Ubaidah yang terluka dan menyerahkan kepada para sahabat lain untuk dirawat.

Karena luka-lukanya yang cukup parah, Ubaidah wafat beberapa hari setelah perang Badar usai. Rasulullah saw. bersaksi bahwa Ubaidah gugur sebagai seorang syahid.

Ketika genderang perang ditabuh Rasulullah saw. keluar dan bersabda beliau, "Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian ia terbunuh dalam keadaan sabar, ikhlas, dan tanpa rasa takut kecuali Allah memasukkanya ke dalam Surga." Saat itu Umair ibn al-Humam, sedang makan beberapa butir kurma. Mendengar sabda Rasulullah saw., ia berkata pernuh kekaguman, "Bakh! Bakh! (Hebat! Hebat!) berarti jarak antara aku dan surga adalah mati terbunuh oleh mereka." Ia langsung menyingkirkan kurma-kurmanya, lesat mengambil pedangnya, lalu berperang dengan gagah berani. Sambil terus bertempur, ia melantunkan syair ungkapan keinginannya mencapai kesyahidan: "Berlomba menuju Allah tanpa bekal kecuali takwa dan amal shalih. Sabar berjihad di jalan Allah, niscaya kau dapatkan bekal yang takkan pernah sirna."

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. bersabda, "Persiapkanlah diri kalian menuju surga yang luasnya antara langit dan bumi."

Umair berkata, "Wahai Rasulullah, surga itu seluas langit dan bumi?"

Beliau menjawab, "Benar."

Umair terkagum dan berkata, "Bakh! Bakh!"

Mendengar ucapan Umair, beliau bertanya, "Apa yang membuatmu berucap 'Bakh! Bakh!'

Umair menjawab, "Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku hanya berharap, aku bisa menjadi penghuninya."

Beliau bersabda, "Kau memang salah satu penghuninya."

Umair mengeluarkan beberapa butir kurma dan memakannya sambil berkata, "Jika aku hidup sampai kuhabiskan kurma ini, pasti butuh waktu yang lama!" Maka ia membuang sisa kurmanya dan maju ke medan perang sampai akhirnya ia gugur sebagai syahid. DIkatakan bahwa yang membunuhnya adalah Khalid ibn al-A'lam al-Uqaili.

Seperti itulah riwayat Ubaidah ibn al-Harits dan Umair ibn al-Humam. Keduanya mengikat janji dalam persaudaraan dan keduanya berlomba-lomba meraih kesyahidan. Dan, keduanya berhasil meraih cita-cita. Semoga Allah merahmati dua bersaudara ini.

17.2.15

Tagged under: ,

Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Melanjutkan kisah sebelumnya, Salman sang pahlawan Khandaq dari Persia.

Salman r.a. adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dia pula lah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan 'ramalan-ramalan' ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah saw. Ia berdiri di samping Rasulullah saw. menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat, bahkan dialami, dan dirasakannya sendiri.

Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya, disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah. 

Nah, itulah dia, Salman, sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di depan rumahnya, di kota Madain; sedang menceriterakan kepada sahabat-sahabatnya tentang perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani, dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. 

Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya. Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana kisahnya saat ia berjumpa dengan Rasulullah saw., dan menyatakan iman kepadanya.

Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya...

"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama 'Ji'. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan Anak yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api dan bertanggung jawab atas nyalanya; agar api itu tidak padam.

Bapakku memiliki sehampar tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang beribadah-berdoa, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati, 'Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!' Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani darimana asal-usul agama mereka. 'Dari Syria' ujar mereka.

Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya, 'Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di Gereja. Upacara mereka amat membuatku takjub. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.' 

Kami pun bertanya-jawab; Aku melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya aku.

Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan bersama rombongan menuju Syria.

Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik Gereja. Maka datanglah aku kepadanya dan kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar. Sayang uskup ini seorang yang tidak baik dalam beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat. 

(Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam sirah nabawinya) tatkala orang-orang kristen menguburkan jenazahnya, aku katakan kepada mereka, 'Sesungguhnya orang ini adalah orang yang jahat. Ia suruh dan seru kalian untuk bersedekah, namun apabila kalian memberikan sedekah padanya, ia malah menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak mendistribusikan sedikitpun kepada orang-orang miskin.'

Mereka berkata, 'Bagaimana engkau tahu?'

Lalu aku menujukkan tempat penyimpanan emas dan perak yang selama ini dikumpulkan uskup itu dari sedekah yang diberikan pengikut-pengikutnya. Setelah mengetahui hal itu, mereka tidak jadi menguburkan jenazah uskup itu, tetapi malah menyalib dan melemparinya dengan batu. Setelah itu mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya sedemikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya. 

Dan tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, 'Sebagaimana anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?' 

'Anakku!' ujamya, 'Tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul, yaitu si fulan. Ia melakukan seperti apa yang aku lakukan. Susullah dia kesana.'

Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Kemudian tatkala takdir Allah telah dekat pula kepadanya, Salman berkata, 'Wahai fulan (uskup kedua), sesungguhnya uskup fulan (uskup pertama) telah berwasiat kepadaku agar aku pergi kepadamu dan sekarang takdir Allah telah datang kepadamu seperti yang engkau saksikan, lalu kepada siapa kini aku engkau wasiatkan?' 

Uskup itu berkata, 'Anakku, demi Allah, yang aku tahu hanya ada satu orang yang seperti kita di Nasibin, yaitu si fulan. Pergilah engkau menemuinya!' Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.

Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.

Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.

Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakan. Ujarnya, 'Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.'

Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka aku berkata kepada mereka, 'Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?' 

'Baiklah' ujar mereka.

Demikianlah mereka membawa serta diriku dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi sebagai budak. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.

Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan pendeta kepadaku.

Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba.

Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku sedang duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi, saudara sepupunya, yang berkata padanya, 'Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi.' 

Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan aku berkata kepada orang tadi, 'Apa maksud anda?', 'Ada berita apa?' Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya, 'Apa urusanmu dengan ini, kembali ke pekerjaanmu!' Maka aku pun kembali bekerja.

Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah saw. di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu aku berkata, 'Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini'. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya dengan maksud agar Rasulullah saw. memakannya.

'Makanlah dengan menyebut nama Allah.' sabda Rasulullah saw. kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu.

'Nah, demi Allah!' gumamku dalam hati, 'Inilah satu dari tanda-tandanya, bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah.'

Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi, keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah saw. sambil membawa makanan, serta kataku kepada beliau, 'Kulihat tuan tak hendak makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah.'

Lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama Allah!' Dan beliaupun turut makan bersama mereka.

'Demi Allah!' kataku dalam hati, 'Inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.'

Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.

Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihat pundaknya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagaimana disebutkan oleh pendeta dahulu.

Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagaimana yang telah kuceriterakan tadi.

Kemudian aku masuk Islam. Perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud sehingga aku tak ikut didalamnya. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku, 'Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.'

Maka aku pun meminta kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya."

Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya.


Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

16.2.15

Tagged under: ,

Salman al-Farisi : Pahlawan khandaq dari Persia

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan, keagamaan, maupun keduniaan.

Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan, serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam.

Ternyata pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsa, tetapi satu Agama. Perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah saw., bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikan olehnya dengan mata kepala, panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.

Salman r.a. sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu adalah perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima setelah Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah saw. dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.

Siasat dan taktik perang pun diatur secara licik, terrencana bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam --yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim- sehingga Kaum Muslimin akan terjepit dari dua arah, mereka harapkan karenanya Islam akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.

Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik, mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab: l0)
Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan yang menentukan; yang akan menghabisi Muhammad saw., Agama, serta para shahabatnya.

Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari pihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsyafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah saw.-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?

Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah saw. Itulah dia Salman al-Farisi r.a.! Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah. Didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman r.a. telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.

Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut.

Demi Allah, Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit.

Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali. Juga Rasulullah saw., ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.

Salman, seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.

Salman pergi menemui Rasulullah saw. dan minta izin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah saw. pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Setelah menyaksikannya, Rasulullah saw. meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti.

Rasulullah saw. lalu membaca bismillah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman. Sementara Rasulullah saw. mengucapkan takbir, sabdanya, "Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu."

Lalu Rasulullah saw. mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah saw. bertakbir, sabdanya, "Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya."

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. saw. pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. 

Diceritakanlah oleh Rasulullah saw. bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru: "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya."


Wallahu a'lam.[]

15.2.15

Tagged under: ,

Shafiyyah binti Huyay : Anaknya Nabi, Keponakannya Nabi, dan istrinya Nabi

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Shafiyyah binti Huyay : Anaknya Nabi, Keponakannya Nabi, dan istrinya Nabi

Beliau adalah Shafiyyah binti Huyay binti Akhthan bin Sa'yah cucu dari Al-Lawi bin Nabiyullah Israel bin Ishaq bin Ibrahim a.s. Termasuk keturunan Rasulullah Harun a.s.

Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang terpandang, berparas cantik dan bagus diennya. Sebelum Islam, beliau menikah dengan Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam) salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq. Kinanah terbunuh pada waktu perang Khaibar, maka beliau termasuk wanita yang di tawan bersama wanita-wania lain.

Bilal, Muadzin Rasululllah, menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka meleweti tanah lapang yang penuh dengan mayat-mayat orang Yahudi. Meskipun sedih, Shafiyyah diam dan tenang; tidak kelihatan seduh dan tidak pula meratap mukanya, menjerit dan menaburkan pasir pada kepalanya. 

Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah saw. Mengerti kesedihan Shafiyyah, Rasulullah saw. bersabda kepada Bilal, "Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?" 

Shafiyyah dalam keadaan sedih namun tetap diam, sedangkan putri pamanya kepalanya penuh pasir, merobek bajunya karena marasa belum cukup ratapannya. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Enyahkanlah syetan ini dariku."

Kemudian beliau saw. mendekati Shafiyyah kemudian mengarahkan pandangan atasnya dengan ramah dan lembut, kemudian bersabda kepada Bilal, "Wahai Bilal aku berharap engkau mendapat rahmat tatkala engkau bertemu dengan dua orang wanita yang suaminya terbunuh."

Rasulullah hendak memuliakan Shafiyyah sehingga beliau saw. memberikan pilihan kepada Shafiiyah:
Pertama, dibebaskan lalu kemudian dikembalikan kepada kaumnya.
Kedua, masuk Islam lalu dinikahi oleh Rasulullah saw.

Shafiyyah memilih masuk Islam dan dinikahi Rasulullah saw. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a bahwa Rasulullah tatkala mengambil Shafiyyah binti Huyay belau bertanya kepadanya, "Maukah engkau menjadi istriku?" Maka Shafiyyah menjawab, "Ya Rasulullah, sungguh aku telah berangan-angan untuk itu tatkala masih musyrik, maka bagaimana mungkin aku tidak inginkan hal itu manakala Allah memungkinkan itu saat aku memeluk Islam?"

Kemudian tatkala Shafiyyah telah suci karena memilih Islam dan Rasulullah saw. menikahinya. Mahar pernikahannya adalah merdekanya Shafiyyah.

Kemudian Rasulullah saw. melanjutkan perjalanannya ke Madinah bersama bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shabba', jauh dari Khaibar, mereka berhenti untuk beristirahat. Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul 'urs. Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a, beliau menyisir rambut Shafiyyah, menghiasi dan memberi wewangian hingga karena kelihaian dia dalam merias. Ummu Sinan Al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih dan cantik dari Shafiyyah. Maka diadakanlah walimatul 'urs.

Kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega, dan keju Khaibar hingga kenyang. Rasulullah saw. masuk ke kamar Shafiyyah, beliau bercerita bahwa tatkala malam pertamanya dengan Kinanah bin Rabi', pada malam itu beliau bermimpi bahwa bulan telah jatuh ke kamarnya. Tatkala bangun belau ceritakan hal itu kepada Kinanah tentang takwilnya, maka dia berkata dengan marah, "Mimpimu tidak ada takwil lain melainkan kamu berangan-angan mendapatkan raja Hijjaz, Muhammad." Maka dia tampar wajah Shafiyyah dengan keras sehingga bekasnya masih ada.

Nabi saw. mendengarnya sambil tersenyum kemudian bertanya, "Mengapa engkau menolak dariku tatkala kita menginap yang pertama?" Maka Shafiyyah menjawab, "Saya khawatir terhadap diri anda karena dekat Yahudi." Maka menjadi berseri-serilah wajah Nabi yang mulia serta lenyaplah kekecewaan hatinya.

Tatkala rombongan sampai di Madinah Rasulullah saw. memerintahkan agar pengantin wanita tidak langsung di ketemukan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau saw. turunkan Shafiyyah di rumah sahabatnya yang bernama Haritsah bin Nu'man. Ketika wanita-wanita Anshar mendengar kabar tersebut, mereka datang untuk melihat kecantikannya. Nabi saw. memergoki 'Aisyah keluar sambil menutupi dirinya serta berhati-hati (agar tidak dilihat Nabi) kemudian masuk ke rumah Haritsah bin Nu'man. Maka beliau saw. menunggunya sampai 'Aisyah keluar.

Tatkala 'Aisyah keluar, Rasulullah saw. memegang bajunya seraya bertanya dengan tertawa, "Bagaimana menurut mendapatmu wahai, Humayra?" 'Aisyah menjawab sementara cemburu menghiasi dirinya, "Aku lihat dia adalah wanita Yahudi." Maka Rasulullah saw. membantahnya dan bersabda, "Jangan berkata begitu… karena sesungguhnya dia telah Islam dan bagus keislamannya."

Selajutnya Shafiyyah berpindah ke rumah Nabi, dan itu menimbulkan kecemburuan istri-istri beliau yang lain karena kecantikannya. Mereka juga mengucapkan selamat atas apa yang telah Shafiyyah raih. Bahkan dengan nada mengejek mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing.

Bahkan suatu ketika sampai keluar dari lisan Hafshah kata-kata, "Anak seorang Yahudi" hingga menyebabkan Shafiyyah menangis. Tatkala itu Nabi saw. masuk sedangkan Shafiyyah masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"

Shafiyyah menjawab, "Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah anak seorang Yahudi."

Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya, engkau adalah seorang putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga seorang Nabi. Lantas dengan alasan apa dia mengejekmu ?"

Kemudian beliau saw. bersabda kepada Hafshah, "Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!"

Kata-kata Nabi itu menjadi penyejuk, keselamatan, dan keamanan bagi Shafiyyah. Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri Nabi yang lain maka Shafiyyah pun berkata, "Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?"

Shafiyyah r.a. wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun,ketika masa pemerintahan Mu'awiyah. Beliau dikuburkan di Baqi' bersama Ummuhatul Mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua.

Wallahu a'lam.[]

12.2.15

Tagged under: ,

Khaulah bint Tsa'labah : Wanita yang didengar oleh Allah dari langit ke-7

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Khaulah bint Tsa'labah : Wanita yang didengar oleh Allah dari langit ke-7

Beliau adalah Khaulah binti Tsa`labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa`labah Ghanam bin 'Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh perperangan yang disertai Rasulullah saw. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi'.

Khaulah binti Tsa`labah mendapati suaminya, Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat suaminya itu marah, sehingga dia berkata, "Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku." 

Kemudian, Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama kawan-kawannya. Beberapa lama setelahnya, dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru saja terjadi dalam sejarah Islam tersebut. 

Khaulah berkata, "Tidak…jangan! Demi Dzat yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya lah yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita."

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah saw., lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan berdialog dengan Nabi tentang perkataan suaminya. 

Rasulullah saw. bersabda, "Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya."

Wanita mukminah ini mengulangi perkatannya dan menjelaskan kepada Rasulullah saw. apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan suaminya, namun rasulullah saw. tetap menjawab, "Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya."

Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit seraya di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Kedua matanya nampak basah meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Dia yang tiada akan rugi siapapun berdoa kepada-Nya. 

Beliau berdo'a, "Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku."

Alangkah bagusnya seorang wanita mukminah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah saw. dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah Ta`ala. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.

Tiada henti-hentinya wanita ini berdo'a sehingga suatu ketika Rasulullah saw. pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah saw. sadar kembali, beliau bersabda, "Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan al-Qur`an tentang dirimu dan suamimu." 

Kemudian beliau membaca firman-Nya, 
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,…(sampai firman Allah ayat): "Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih."(Al-Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zhihar:

Nabi : Perintahkan kepadanya (suami) untuk memerdekan seorang budak

Khaulah : Ya Rasulullah dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.

Nabi : Jika demikian perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan berturut-turut

Khaulah : Demi Allah dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.

Nabi : Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin

Khaulah : Demi Allah ya Rasulullah dia tidak memilikinya.

Nabi : Aku bantu dengan separuhnya

Khaulah : Aku bantu separuhnya yang lain wahai Rasulullah.

Nabi : Engkau benar dan baik maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaulah dengan anak pamanmu itu secara baik. 

Maka Khaulah pun melaksanakannya.

Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak Adam a.s. yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.

Ummul mukminin, Aisyah r.a. berkata tentang hal ini, "Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah saw., dia berbincang-bincang dengan Rasulullah saw. sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa yang dia katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah…" (Al-Mujadalah: 1)

Inilah wanita mukminah didikan Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab r.a. saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata, "Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tatkala engkau berada di pasar Ukazh, engkau mengembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga engkau memiliki nama Amirul Mukminin. Bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Adzab Allah." Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.

Akan tetapi al-Jarud al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, "Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita!" Umar kemudian menegurnya, "Biarkan dia…tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya."

Dalam riwayat lain Umar bin Khaththab berkata, "Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya."

Wallahu a'lam

11.2.15

Tagged under: ,

Amr ibn al-Ash : Diplomat penakluk Mesir

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Amr ibn al-Ash : Sang penakluk Mesir

Amr ibn al-Ash, seorang sahabat Quraisy keturunan Bani Sahmi. Ayahnya bernama al-Ash ibn Wail ibn Hasyim ibn A'id ibn Sahm dan ibunya bernama Salma binti Harmalah atau lebih dikenal dengan julukan al-Naabighah (wanita bijak). Nama panggilan Amr adalah Abu Abdillah atau Abu Muhammad.

Awalnya, ia adalah orang yang sangat membenci Rasulullah saw. dan kaum muslimin. Kaum Quraisy pernah mengutusnya ke negeri Absinia (Habasy) sambil membawa berbagai hadiah untuk membujuk raja Najasy agar mau memulangkan kaum muslimin yang sedang berhijrah ke negeri tersebut. Tetapi misinya itu gagal karena Raja menolak untuk memulangkannya karena beberapa alasan, yang akhirnya membuat hadiah dari kaum Quraisy yang dibawa Amr dikembalikan. Atau sebagaimana kisahnya yang bisa dibaca disini.

Singkatnya, cahaya hidayah menerangi hati dan pikiran Amr sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Madinah menemui Rasulullah saw. Di perjalanan menuju Madinan, ia bertemu dengan Khalid ibn al-Walid dan Utsman ibn Thalhah, yang juga berniat menemui Nabi saw. Amr bertanya, "Kalian berdua hendak kemana?"

Mereka berdua menjawab, "Kami hendak menemui Muhammad untuk bersyahadat."

Amr senang mendengar jawaban mereka. Ia berujar, Aku pun pergi untuk tujuan yang sama!" Akhirnya, ketiga orang pemuka Quraisy itu berangkat bersama-sama menuju Madinah. Ketika Rasulullah saw. mendengar kedatangan mereka, beliau bersabda kepada para sahabat, Makkah telah datang menemui kalian dengan membawa para puteranya." Peristiwa keislaman mereka terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah. Setelah mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah saw., Amr menanyakan bagaimana cara menebus dosa-dosanya di masa lalu? Rasulullah bersabda, "Islam dan Hijrah memutuskan dosa-dosa yang telah lalu." (Musnad al-Imam Ahmad 13/135).

Ibn Abi Mualaikah meriwayatkan dari Thalhah ibn Ubaidillah bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sungguh, Amr ibn al-Ash termasuk orang yang baik dari suku Quraisy."

Amr menjadi juru runding bagi Muawiyah berhadapan dengan Abu Musa al-Asy'ari yang menjadi juru runding bagi Ali. Mereka sepakat mencopot Ali dan Muawiyah dari kekhalifahan. Setelah Abu Musa mencopot Ali dari jabatan khalifah, Amr berdiri kemudian mengangkat Muawiyah sebagai khalifah. Setelah menyadari bahwa Amr telah memperdaya dirinya, Abu Musa pergi meninggalkan semua orang.

Amr adalah orang yang cerdik dan banyak akal. Dikisahkan bahwa dalam sebuah peperangan, salah seorang panglima pasukan Romawi, Arthaphoon mengundang Amr ibn al-Ash ke bentengnya untuk berbincang-bincang. Sebelum itu, sebetulnya Arthaphoon telah memerintahkan salah seorang dari pasukannya untuk menimpahkan batu pada Amr ketika ia keluar dari benteng.

Dalam perbincangan itu, Arthaphoon memuji kecerdasan dan kecerdikan yang dimiliki Amr ibn al-Ash. Di ujung pembicaraan, Arthaphoon diberikan hadiah kepada Amr sebagai ungkapan rasa senangnya. Ketika hendak keluar dari benteng, Amr melihat gerakan-gerakan mencurigakan dari pasukan Romawi, seketika Amr berpikir bahwa mereka siap membunuhnya. Karena itu, ia menghentikan langkahnya dan kembali menemui Arthaphoon. Ketika keduanya berhadapan, Arthaphoon bertanya kepada Amr, "Kenapa engkau kembali?"

Amr menjawab, "Tuanku, aku lupa mengabarkan bahwa aku punya sepuluh orang sahabat, dan di antara mereka, aku adalah yang paling bodoh dan paling rendah kecerdasannya. Mereka adalah kepercayaan pimpinan kami. Pemimpin kami tidak mengambil suatu keputusan kecuali ia telah bermusyawarah dengan mereka. Pemimpin kami juga tidak akan mengirimkan sepasukan kecuali atas persetujuan mereka. Ketika aku merasakan kebaikan Tuan, aku ingin sekali membawa mereka untuk berbincang bersama Tuan, agar Tuan dapat mendengar langsung pembicaraan mereka dan mereka pun dapat hadiah seperti yang aku dapatkan."

Tentu saja Arthaphoon senang mendengar ujaran Amr. Menurutnya, itu merupakan kesempatan emas untuk menghancurkan musuhnya. Ia berpikir, bahwa dengan mengalahkan sepuluh orang bijak tersebut, berarti ia tidak perlu bersusah payah mengalahkan musuhnya. Maka, Arthaphoon memberikan isyarat kepada pasukannya agar membiarkan Amr pergi dengan selamat.

Di depan gerbang benteng, kuda tunggangan Amr setia menunggu tuannya. Ketika ia naik, kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya seakan-akan mengejek keluguan dan kotololan Artaphoon, sang panglima Romawi.

Pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab, Amr ibn al-Ash diperintahkan untuk membebaskan Mesir dai cengkeraman Romawi. Menyadari kekuatan Roma, Amr meminta khalifah untuk mengirimkan bala bantuan. Khalifah mengirimkan 4000 pasukan dengan 4 diantaranya sebanding dengan 1000 pasukan; mereka adalah al-Zubayr al-Awwam, Ubadah ibn al-Shamit, al-Miqdad ibn al-Aswad, dan Maslamah ibn Mukhlad. Akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan dan dapat membebaskan Mesir.

Ketika terjadi fitnah antara Ali dan Muawiyah, Amr berada di pihak Muawiyah. Ketika mendengar Amar ibn Yasir akan gugur, ia teringat sabda Rasulullah, "Amar akan dibunuh oleh golongan yang berdosa." Amr berkata, Seandainya aku mati dua puluh tahun lebih awal sebelum kejadian ini."

Wallahu a'lam.[]

10.2.15

Tagged under: ,

Said ibn Amir : Seorang pemimpin yang fakir

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Said ibn Amir : Pemimpin yang fakir

Said ibn Amir adalah seorang sahabat dari suku Quraisy keturunan Bani Jumah. Ayahnya bernama Amir ibn Hidzyam ibn Salaman ibn Rabiah dan ibunya bernama Ummu Said Arwa binti Abi Mu'ith yang tak lain merupakan saudari Uqbah ibn Mu'ith, salah seorang dedengkot kafir Quraisy yang sangat membenci Rasulullah.

Pamannya, Uqbah ibn Abu Mu'ith ditawan bersama 43 orang lain oleh kaum muslimin dalam perang Badar. Pulang dari Badar, Rasulullah saw. memerintahkan al-Nadhar ibn al-Harits  ibn Kildah dibunuh. Ali ibn Abi Thalib mendapatkan tugas untuk mengeksekusinya. Tiba di Irqi al-Zabiyah, Rasulullah memerintahkan Ashim ibn Tsabit untuk mengeksekusi Uqbah. Tetapi sebelum ia dipenggal, ia berkata, "Siapakah yang akan mengurus anak-anak, hai Muhammad?" Beliau bersabda, "Neraka (tempatmu)." Kemudian Ashim memenggal lehernya sampai tewas. Uqbah adalah orang yang menimpakan jeroan unta ke punggung Rasulullah saw. ketika beliau shalat di Ka'bah.

Said adalah seorang sahabat yang paling zuhud dan dekat kepada Nabi saw. Ia memeluk Islam sebelum penaklukan Khaibar dan iku tberhijrah ke Madinah. Ia ikut serta dalam perang Khaibar dan beberapa peristiwa lainnya. Ba'da Rasulullah saw. wafat, ialah yang sering memberikan nasihat kepada para Khalifah agar senantiasa takut kepada Murka Allah. Ia tergolong dan dikenal sebagai muslim yang sederhana, bahkan dapat dibilang seorang yang fakir. Itu dapat dilihat dari pakaiannya yang lusuh dan usang.

Suatu saat, ia pernah datang menghadap kepada Amirul Mukminin, Khalifah Umar ibn Khaththab, dan menasihatinya, "Wahai Umar, aku wasiatkan agar engkau takut kepada Allah dalam urusan manusia dan jangan sekali-kali takut terhadap manusia dalam urusan Allah. Janganlah ucapanmu menyalahi perbuatanmu, karena sebaik ucapan adalah yang sesuai dengan perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah mereka yang urusannya telah Allah pertanggungkan kepadamu, baik kaum muslimin yang jauh maupun yang dekat. Cintailah mereka seperti engkau mencintai dirimu dan keluargamu. Rasakan penderitaan mereka dan ajaklah mereka menuju jalan kebenaran selalu! Di jalan Allah jangan sekalipun engkau takut akan caci maki..."

Mendengar nasihatnya, Umar berkata, "Wahai Said, siapakah yang dapat mampu melakukan semua itu?"

Said menjawab, "Orang yang dipercayakan oleh Allah untuk mengurus ummat Muhammad sepeninggalnya, yang ia tak pernah menjadikan perantara apapun antara dirinya dan siapa pun kecuali Allah."

Umar kemudian berkata, "Mulai sekarang, engkau ku angkat menjadi Gubernur Homs, lakukanlah tugasmu dengan baik."

Namun, Said menolak dan berkata, "Demi Allah, jangan engkau timpakkan fitnah kepadaku, hai Umar!"

Mendengar penolakannya Khalifah Umar berkata, "Kalian limpahkan seluruh urusan ke pundakku, dan kalian biarkan aku sendiri? Sudahlah, sekarang juga kau berangkat ke Homs!" Dengan berat hati Said berangkat ke Homs sembari memohon pertolongan Allah. Umar pun memberinya bekal yang cukup.

Ketika ia telah menjadi Gubernur Homs, istrinya sangat ingin sekali membeli pakaian dan barang-barang yang diinginkan banyak wanita lainnya. Said berkata, "Maukah engkau sesuatu yang lebih baik dari itu?"

Istrinya menjawab, "Apa itu?"

Said berkata, "Perdagangan di negeri ini sangat ramai. Aku akan memberikan harta kita kepada orang yang mampu memperdagangkan dan mengembangkannya."

Istrinya balas menjawab, "Bagaimana kalau rugi?"

Said berkata, "Kita buat jaminan kepadanya."

Isrinya pun menyetujui apa yang Said inginkan. Tanpa ragu-ragu lagi Said menyedekahkan semua hartanya kepada orang yang membutuhkan.

Hari-hari berlalu dan sang istri kian gencar bertanya kepada Said, kepada siapa harta mereka diinvestasikan. Said berupaya menenangkan istirnya dengan mengatakan bahwa harta mereka pasti berkembang dan berada di tangan orang yang terpercaya. Selang beberapa waktu, seorang sahabat yang tahu kemana persis harta itu disalurkan datang menemui Said. Mereka pun berbincang-bincang dan istri Said kembali menanyakan kembali soal keuntungan dari investasi harta mereka karena ia belum pernah menerima sepeser pun. Mendengar pertanyaan istri Said, sahabat Said tertawa sehingga menimbulkan kecurigaan di hati istri Said. Karena terus didesak, sahabat Said kemudian menceritakan bahwa semua hartanya disedekahkan kepada fakir miskin.

Tentu, jawaban itu membuat Istri Said marah. Ia menumpahkan kekecewaan kekecewaan kepada suaminya karena ia tidak jujur. Said berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Seandainya salah seorang dari wanita surga muncul ke bumi, niscaya bumi akan dipenuhi harum misik.' Aku, demi Allah tak ingin memilih mereka."

Suatu hari, Khalifah Umar r.a. mengunjungi Homs untuk melihat perkembangan kota itu di bawah pimpinan Said ibn Amir. Umar r.a. kemudian meminta data kaum fakir miskin untuk diberi sedekah. Mereka (pegawai di Homs) menuliskannya, "Yang termasuk fakir adalah si fulan, si fulan, si fulan, dan Said ibn Amir."

Khalifah Umar bertanya, "Siapakah Said ibn Amir yang kalian maksud?"

Mereka menjawab, "Gubernur kami."

Khalifah bertanya heran, "Gubernur kalian fakir? Lalu dikemanakan gajinya?"

Mereka menjawab, "Ia menyedekahkan semuanya setiap kali ia menerimanya." Mendengar penjelasan mereka Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam pundi dan memerintahkan agar diberikan kepada Said untuk memenuhi kebutuhannya."

Ketika utusan Khalifah Umar datang membawa uang itu, Said mengembalikannya seraya mengucapkan istighfar. Sang istri yang mendengar dari balik tirai bertanya, "Adakah gerangan yang terjadi pada Amirul Mukminin, Umar ibn Khaththab?"

Said menjawab, "Ya. Sesuatu yang sangat besar."

Istrinya berkata, "Apakah kaum muslimin kalah dalam perang?"

Said menjawab, "Lebih dahsyat dari itu."

Istrinya berkata, "Apakah kiamat segera tiba?"

Said menjawab, "Lebih penting dari itu."

Istrinya makin penasaran dan bertanya, "Jadi, apa yang terjadi?"

Said menjawab, "Fitnah telah memasuki rumahku. Dunia datang untuk merusak akhiratku."

Sang istri kemudian berusaha menenangkan Said dan berkata, "Maka, jauhilah agar kau tenang."

Said pun kemudian mengumpulkan kembali harta yang didapatnya dari Khalifah lalu memasukkannya ke dalam pundi. Sejurus kemudian, semua uang itu dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Setelah itu hatinya kembali merasa tenang.

Said termasuk orang yang sangat zuhud dan tidak sedikit pun mempedulikan soal harta. Sikap dan perilakunya itu sangat kontras dengan kondisi para pemimpin saat ini. Banyak orang, yang mencari harta siang dan malam, bahkan menumpuk-numpuk harta, tetapi yang mereka dapatkan hanya kelelahan. Mereka tak sadar bahwa harta yang dikumpulkan akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah darimanapun dan dengan cara apapun harta itu didapat.

Saat Khalifah Umar berkunjung ke Homs, penduduk di wilayah itu mengadukan gubernur mereka Siad ibn Amir kepada Umar ibn al-Khaththab. Ada empat hal yang mereka adukan,

Pertama, gubernur tak pernah keluar menemui warga kecuali di akhir subuh.
Kedua, Said tidak pernah menerima tamu di waktu malam.
Ketiga, Setiap bulan, dua hari ia tak mau keluar menemui kami.
Keempat, Sesekali Said pingsan dan terjatuh.

Mendengar aduan mereka, Umar berpaling kepada Said ibn Amir dan bertanya, "Apa pembelaanmu terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan, hai Said?"

Said menjawab satu per satu aduan tersebut. Ia berkata, "Pertama, keluargaku tak punya pembantu. Jadi, di pagi hari aku membuat tepung untuk mereka. Setelah menjadi tepung aku membuat roti untuk mereka. Setelah itu, aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.

Kedua, aku membagi hari-hariku. Satu bagian untuk Tuhanku dan satu bagian untuk rakyatku. Waktu siang hari aku bersama mereka, sedangkan waktu malam aku bersama Tuhanku.

Ketiga, aku hanya memiliki satu potong pakaian. Setiap bulan aku mencucinya dua kali. Setelah itu, aku menunggu pakaianku kering dan kukenakan kembali untuk menemui mereka.

Keempat, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri --bersama orang Quraisy- bagaimana Khubaib ibn Adi disalib. Setiap kali aku teringat kejadian itu, pandanganku gelap dan aku jatuh pingsan."

Mendengar jawaban Said, Khalifah Umar menarik nafas dalam-dalam, kemudian meminta agar Said melanjutkan kembali tugasnya sebagai Gubernur, tetapi ia menolak.

Ibn al-Atsir menuturkan perbedaan pendapat tentang dimana Said ibn Amir wafat. Ada yang mengatakan ia wafat di Kaesaria, atau di Homs. Ada pula yang mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Riqqa.

Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]