300x250 AD TOP

17.2.15

Tagged under: ,

Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Melanjutkan kisah sebelumnya, Salman sang pahlawan Khandaq dari Persia.

Salman r.a. adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dia pula lah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan 'ramalan-ramalan' ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah saw. Ia berdiri di samping Rasulullah saw. menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat, bahkan dialami, dan dirasakannya sendiri.

Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya, disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah. 

Nah, itulah dia, Salman, sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di depan rumahnya, di kota Madain; sedang menceriterakan kepada sahabat-sahabatnya tentang perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani, dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. 

Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya. Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana kisahnya saat ia berjumpa dengan Rasulullah saw., dan menyatakan iman kepadanya.

Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya...

"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama 'Ji'. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan Anak yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api dan bertanggung jawab atas nyalanya; agar api itu tidak padam.

Bapakku memiliki sehampar tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang beribadah-berdoa, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati, 'Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!' Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani darimana asal-usul agama mereka. 'Dari Syria' ujar mereka.

Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya, 'Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di Gereja. Upacara mereka amat membuatku takjub. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.' 

Kami pun bertanya-jawab; Aku melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya aku.

Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan bersama rombongan menuju Syria.

Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik Gereja. Maka datanglah aku kepadanya dan kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar. Sayang uskup ini seorang yang tidak baik dalam beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat. 

(Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam sirah nabawinya) tatkala orang-orang kristen menguburkan jenazahnya, aku katakan kepada mereka, 'Sesungguhnya orang ini adalah orang yang jahat. Ia suruh dan seru kalian untuk bersedekah, namun apabila kalian memberikan sedekah padanya, ia malah menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak mendistribusikan sedikitpun kepada orang-orang miskin.'

Mereka berkata, 'Bagaimana engkau tahu?'

Lalu aku menujukkan tempat penyimpanan emas dan perak yang selama ini dikumpulkan uskup itu dari sedekah yang diberikan pengikut-pengikutnya. Setelah mengetahui hal itu, mereka tidak jadi menguburkan jenazah uskup itu, tetapi malah menyalib dan melemparinya dengan batu. Setelah itu mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya sedemikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya. 

Dan tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, 'Sebagaimana anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?' 

'Anakku!' ujamya, 'Tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul, yaitu si fulan. Ia melakukan seperti apa yang aku lakukan. Susullah dia kesana.'

Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Kemudian tatkala takdir Allah telah dekat pula kepadanya, Salman berkata, 'Wahai fulan (uskup kedua), sesungguhnya uskup fulan (uskup pertama) telah berwasiat kepadaku agar aku pergi kepadamu dan sekarang takdir Allah telah datang kepadamu seperti yang engkau saksikan, lalu kepada siapa kini aku engkau wasiatkan?' 

Uskup itu berkata, 'Anakku, demi Allah, yang aku tahu hanya ada satu orang yang seperti kita di Nasibin, yaitu si fulan. Pergilah engkau menemuinya!' Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.

Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.

Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.

Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakan. Ujarnya, 'Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.'

Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka aku berkata kepada mereka, 'Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?' 

'Baiklah' ujar mereka.

Demikianlah mereka membawa serta diriku dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi sebagai budak. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.

Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan pendeta kepadaku.

Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba.

Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku sedang duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi, saudara sepupunya, yang berkata padanya, 'Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi.' 

Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan aku berkata kepada orang tadi, 'Apa maksud anda?', 'Ada berita apa?' Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya, 'Apa urusanmu dengan ini, kembali ke pekerjaanmu!' Maka aku pun kembali bekerja.

Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah saw. di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu aku berkata, 'Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini'. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya dengan maksud agar Rasulullah saw. memakannya.

'Makanlah dengan menyebut nama Allah.' sabda Rasulullah saw. kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu.

'Nah, demi Allah!' gumamku dalam hati, 'Inilah satu dari tanda-tandanya, bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah.'

Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi, keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah saw. sambil membawa makanan, serta kataku kepada beliau, 'Kulihat tuan tak hendak makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah.'

Lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama Allah!' Dan beliaupun turut makan bersama mereka.

'Demi Allah!' kataku dalam hati, 'Inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.'

Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.

Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihat pundaknya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagaimana disebutkan oleh pendeta dahulu.

Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagaimana yang telah kuceriterakan tadi.

Kemudian aku masuk Islam. Perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud sehingga aku tak ikut didalamnya. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku, 'Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.'

Maka aku pun meminta kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya."

Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya.


Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

0 comments:

Post a Comment