300x250 AD TOP

23.2.15

Tagged under: , ,

Umair ibn al-Humam : Berlomba mencapai syahid

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Umair ibn al-Humam : Berlomba mencapai syahid.

Umair ibn al-Humam seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar keturunan Bani Sulami. Setelah Rasulullah saw. tiba di Yatsrib, beliau mengubah nama kota itu menjadi Madinah dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar serta memerintahkan pembangunan Masjid Nabawi. Umair ibn al-Humam al-Anshari dipersaudarakan dengan Ubaidah ibn al-Harits.

Saat terjadi perang Badar, Umair dan Ubaidah ikut serta bersama Nabi saw. memerangi kaum musyrik. Menurut kebiasaan waktu itu, jika kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, maka mereka akan melakukan perang tanding terlebih dahulu sebelum perang sebenarnya dimulai. Tiga orang musyrik maju di antara dua barisan, yaitu Utbah ibn Rabiah, al-Walid ibn Utbah, dan Syaibah ibn Rabiah. Mereka menantang kaum muslimin untuk berduel. Maka, tiga pemuda Anshar maju untuk meladeni tantangan mereka. Kereka mereka memperkenalkan diri, pihak musyrik berkata, "Kami tak punya urusan dengan kalian."

Lalu, kafir Quraisy itu kembali menyerukan dengan lantang, "Wahai Muhammad, perintahkanlah tiga orang dari kaum kami (Muhajirin) yang pantas menghadapi kami!"

Kemudian Nabi saw. memerintahkan kepada Ubaidah, Hamzah, dan Ali untuk meladeni mereka. Ketika mereka telah berhadap-hadapan, kaum musyrik itu berkata, "Siapa kalian?"

Ubaidah menjawab, "Ubaidah."
Hamzah berkata, "Hamzah."
Ali berkata, "Ali."

Mereka berkata lagi, "Ini baru lawan yang sebanding."

Ubaidah melawan Utbah, Hamzah melawan Syaibah, dan Ali melawan al-Walid. Ali dapat membutuh al-Walid dengan cepat, begitu pula Hamzah yang dapat segera membunuh Syaibah. Sedangkan Ubaidah dan Utbah terlihat masih berkelahi dengan sengit. Keduanya terluka oleh sabetan pedang lawannya masing-masing. Ali dan Hamzah mengayunkan pedangnya dan menuntaskan perlawanan Utbah. Kemudian keduanya mengangkat tubuh Ubaidah yang terluka dan menyerahkan kepada para sahabat lain untuk dirawat.

Karena luka-lukanya yang cukup parah, Ubaidah wafat beberapa hari setelah perang Badar usai. Rasulullah saw. bersaksi bahwa Ubaidah gugur sebagai seorang syahid.

Ketika genderang perang ditabuh Rasulullah saw. keluar dan bersabda beliau, "Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian ia terbunuh dalam keadaan sabar, ikhlas, dan tanpa rasa takut kecuali Allah memasukkanya ke dalam Surga." Saat itu Umair ibn al-Humam, sedang makan beberapa butir kurma. Mendengar sabda Rasulullah saw., ia berkata pernuh kekaguman, "Bakh! Bakh! (Hebat! Hebat!) berarti jarak antara aku dan surga adalah mati terbunuh oleh mereka." Ia langsung menyingkirkan kurma-kurmanya, lesat mengambil pedangnya, lalu berperang dengan gagah berani. Sambil terus bertempur, ia melantunkan syair ungkapan keinginannya mencapai kesyahidan: "Berlomba menuju Allah tanpa bekal kecuali takwa dan amal shalih. Sabar berjihad di jalan Allah, niscaya kau dapatkan bekal yang takkan pernah sirna."

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. bersabda, "Persiapkanlah diri kalian menuju surga yang luasnya antara langit dan bumi."

Umair berkata, "Wahai Rasulullah, surga itu seluas langit dan bumi?"

Beliau menjawab, "Benar."

Umair terkagum dan berkata, "Bakh! Bakh!"

Mendengar ucapan Umair, beliau bertanya, "Apa yang membuatmu berucap 'Bakh! Bakh!'

Umair menjawab, "Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku hanya berharap, aku bisa menjadi penghuninya."

Beliau bersabda, "Kau memang salah satu penghuninya."

Umair mengeluarkan beberapa butir kurma dan memakannya sambil berkata, "Jika aku hidup sampai kuhabiskan kurma ini, pasti butuh waktu yang lama!" Maka ia membuang sisa kurmanya dan maju ke medan perang sampai akhirnya ia gugur sebagai syahid. DIkatakan bahwa yang membunuhnya adalah Khalid ibn al-A'lam al-Uqaili.

Seperti itulah riwayat Ubaidah ibn al-Harits dan Umair ibn al-Humam. Keduanya mengikat janji dalam persaudaraan dan keduanya berlomba-lomba meraih kesyahidan. Dan, keduanya berhasil meraih cita-cita. Semoga Allah merahmati dua bersaudara ini.

17.2.15

Tagged under: ,

Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Melanjutkan kisah sebelumnya, Salman sang pahlawan Khandaq dari Persia.

Salman r.a. adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dia pula lah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan 'ramalan-ramalan' ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah saw. Ia berdiri di samping Rasulullah saw. menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat, bahkan dialami, dan dirasakannya sendiri.

Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya, disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah. 

Nah, itulah dia, Salman, sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di depan rumahnya, di kota Madain; sedang menceriterakan kepada sahabat-sahabatnya tentang perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani, dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. 

Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya. Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana kisahnya saat ia berjumpa dengan Rasulullah saw., dan menyatakan iman kepadanya.

Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya...

"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama 'Ji'. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan Anak yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api dan bertanggung jawab atas nyalanya; agar api itu tidak padam.

Bapakku memiliki sehampar tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang beribadah-berdoa, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati, 'Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!' Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani darimana asal-usul agama mereka. 'Dari Syria' ujar mereka.

Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya, 'Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di Gereja. Upacara mereka amat membuatku takjub. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.' 

Kami pun bertanya-jawab; Aku melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya aku.

Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan bersama rombongan menuju Syria.

Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik Gereja. Maka datanglah aku kepadanya dan kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar. Sayang uskup ini seorang yang tidak baik dalam beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat. 

(Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam sirah nabawinya) tatkala orang-orang kristen menguburkan jenazahnya, aku katakan kepada mereka, 'Sesungguhnya orang ini adalah orang yang jahat. Ia suruh dan seru kalian untuk bersedekah, namun apabila kalian memberikan sedekah padanya, ia malah menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak mendistribusikan sedikitpun kepada orang-orang miskin.'

Mereka berkata, 'Bagaimana engkau tahu?'

Lalu aku menujukkan tempat penyimpanan emas dan perak yang selama ini dikumpulkan uskup itu dari sedekah yang diberikan pengikut-pengikutnya. Setelah mengetahui hal itu, mereka tidak jadi menguburkan jenazah uskup itu, tetapi malah menyalib dan melemparinya dengan batu. Setelah itu mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya sedemikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya. 

Dan tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, 'Sebagaimana anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?' 

'Anakku!' ujamya, 'Tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul, yaitu si fulan. Ia melakukan seperti apa yang aku lakukan. Susullah dia kesana.'

Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Kemudian tatkala takdir Allah telah dekat pula kepadanya, Salman berkata, 'Wahai fulan (uskup kedua), sesungguhnya uskup fulan (uskup pertama) telah berwasiat kepadaku agar aku pergi kepadamu dan sekarang takdir Allah telah datang kepadamu seperti yang engkau saksikan, lalu kepada siapa kini aku engkau wasiatkan?' 

Uskup itu berkata, 'Anakku, demi Allah, yang aku tahu hanya ada satu orang yang seperti kita di Nasibin, yaitu si fulan. Pergilah engkau menemuinya!' Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.

Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.

Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.

Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakan. Ujarnya, 'Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.'

Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka aku berkata kepada mereka, 'Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?' 

'Baiklah' ujar mereka.

Demikianlah mereka membawa serta diriku dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi sebagai budak. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.

Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan pendeta kepadaku.

Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba.

Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku sedang duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi, saudara sepupunya, yang berkata padanya, 'Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi.' 

Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan aku berkata kepada orang tadi, 'Apa maksud anda?', 'Ada berita apa?' Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya, 'Apa urusanmu dengan ini, kembali ke pekerjaanmu!' Maka aku pun kembali bekerja.

Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah saw. di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu aku berkata, 'Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini'. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya dengan maksud agar Rasulullah saw. memakannya.

'Makanlah dengan menyebut nama Allah.' sabda Rasulullah saw. kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu.

'Nah, demi Allah!' gumamku dalam hati, 'Inilah satu dari tanda-tandanya, bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah.'

Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi, keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah saw. sambil membawa makanan, serta kataku kepada beliau, 'Kulihat tuan tak hendak makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah.'

Lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama Allah!' Dan beliaupun turut makan bersama mereka.

'Demi Allah!' kataku dalam hati, 'Inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.'

Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.

Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihat pundaknya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagaimana disebutkan oleh pendeta dahulu.

Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagaimana yang telah kuceriterakan tadi.

Kemudian aku masuk Islam. Perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud sehingga aku tak ikut didalamnya. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku, 'Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.'

Maka aku pun meminta kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya."

Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya.


Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

16.2.15

Tagged under: ,

Salman al-Farisi : Pahlawan khandaq dari Persia

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Salman al-Farisi : Sang pencari kebenaran

Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan, keagamaan, maupun keduniaan.

Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan, serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam.

Ternyata pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsa, tetapi satu Agama. Perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah saw., bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikan olehnya dengan mata kepala, panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.

Salman r.a. sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu adalah perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima setelah Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah saw. dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.

Siasat dan taktik perang pun diatur secara licik, terrencana bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam --yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim- sehingga Kaum Muslimin akan terjepit dari dua arah, mereka harapkan karenanya Islam akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.

Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik, mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab: l0)
Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan yang menentukan; yang akan menghabisi Muhammad saw., Agama, serta para shahabatnya.

Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari pihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsyafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah saw.-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?

Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah saw. Itulah dia Salman al-Farisi r.a.! Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah. Didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman r.a. telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.

Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut.

Demi Allah, Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit.

Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali. Juga Rasulullah saw., ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.

Salman, seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.

Salman pergi menemui Rasulullah saw. dan minta izin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah saw. pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Setelah menyaksikannya, Rasulullah saw. meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti.

Rasulullah saw. lalu membaca bismillah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman. Sementara Rasulullah saw. mengucapkan takbir, sabdanya, "Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu."

Lalu Rasulullah saw. mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah saw. bertakbir, sabdanya, "Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya."

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. saw. pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. 

Diceritakanlah oleh Rasulullah saw. bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru: "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya."


Wallahu a'lam.[]

15.2.15

Tagged under: ,

Shafiyyah binti Huyay : Anaknya Nabi, Keponakannya Nabi, dan istrinya Nabi

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Shafiyyah binti Huyay : Anaknya Nabi, Keponakannya Nabi, dan istrinya Nabi

Beliau adalah Shafiyyah binti Huyay binti Akhthan bin Sa'yah cucu dari Al-Lawi bin Nabiyullah Israel bin Ishaq bin Ibrahim a.s. Termasuk keturunan Rasulullah Harun a.s.

Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang terpandang, berparas cantik dan bagus diennya. Sebelum Islam, beliau menikah dengan Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam) salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq. Kinanah terbunuh pada waktu perang Khaibar, maka beliau termasuk wanita yang di tawan bersama wanita-wania lain.

Bilal, Muadzin Rasululllah, menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka meleweti tanah lapang yang penuh dengan mayat-mayat orang Yahudi. Meskipun sedih, Shafiyyah diam dan tenang; tidak kelihatan seduh dan tidak pula meratap mukanya, menjerit dan menaburkan pasir pada kepalanya. 

Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah saw. Mengerti kesedihan Shafiyyah, Rasulullah saw. bersabda kepada Bilal, "Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?" 

Shafiyyah dalam keadaan sedih namun tetap diam, sedangkan putri pamanya kepalanya penuh pasir, merobek bajunya karena marasa belum cukup ratapannya. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Enyahkanlah syetan ini dariku."

Kemudian beliau saw. mendekati Shafiyyah kemudian mengarahkan pandangan atasnya dengan ramah dan lembut, kemudian bersabda kepada Bilal, "Wahai Bilal aku berharap engkau mendapat rahmat tatkala engkau bertemu dengan dua orang wanita yang suaminya terbunuh."

Rasulullah hendak memuliakan Shafiyyah sehingga beliau saw. memberikan pilihan kepada Shafiiyah:
Pertama, dibebaskan lalu kemudian dikembalikan kepada kaumnya.
Kedua, masuk Islam lalu dinikahi oleh Rasulullah saw.

Shafiyyah memilih masuk Islam dan dinikahi Rasulullah saw. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a bahwa Rasulullah tatkala mengambil Shafiyyah binti Huyay belau bertanya kepadanya, "Maukah engkau menjadi istriku?" Maka Shafiyyah menjawab, "Ya Rasulullah, sungguh aku telah berangan-angan untuk itu tatkala masih musyrik, maka bagaimana mungkin aku tidak inginkan hal itu manakala Allah memungkinkan itu saat aku memeluk Islam?"

Kemudian tatkala Shafiyyah telah suci karena memilih Islam dan Rasulullah saw. menikahinya. Mahar pernikahannya adalah merdekanya Shafiyyah.

Kemudian Rasulullah saw. melanjutkan perjalanannya ke Madinah bersama bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shabba', jauh dari Khaibar, mereka berhenti untuk beristirahat. Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul 'urs. Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a, beliau menyisir rambut Shafiyyah, menghiasi dan memberi wewangian hingga karena kelihaian dia dalam merias. Ummu Sinan Al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih dan cantik dari Shafiyyah. Maka diadakanlah walimatul 'urs.

Kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega, dan keju Khaibar hingga kenyang. Rasulullah saw. masuk ke kamar Shafiyyah, beliau bercerita bahwa tatkala malam pertamanya dengan Kinanah bin Rabi', pada malam itu beliau bermimpi bahwa bulan telah jatuh ke kamarnya. Tatkala bangun belau ceritakan hal itu kepada Kinanah tentang takwilnya, maka dia berkata dengan marah, "Mimpimu tidak ada takwil lain melainkan kamu berangan-angan mendapatkan raja Hijjaz, Muhammad." Maka dia tampar wajah Shafiyyah dengan keras sehingga bekasnya masih ada.

Nabi saw. mendengarnya sambil tersenyum kemudian bertanya, "Mengapa engkau menolak dariku tatkala kita menginap yang pertama?" Maka Shafiyyah menjawab, "Saya khawatir terhadap diri anda karena dekat Yahudi." Maka menjadi berseri-serilah wajah Nabi yang mulia serta lenyaplah kekecewaan hatinya.

Tatkala rombongan sampai di Madinah Rasulullah saw. memerintahkan agar pengantin wanita tidak langsung di ketemukan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau saw. turunkan Shafiyyah di rumah sahabatnya yang bernama Haritsah bin Nu'man. Ketika wanita-wanita Anshar mendengar kabar tersebut, mereka datang untuk melihat kecantikannya. Nabi saw. memergoki 'Aisyah keluar sambil menutupi dirinya serta berhati-hati (agar tidak dilihat Nabi) kemudian masuk ke rumah Haritsah bin Nu'man. Maka beliau saw. menunggunya sampai 'Aisyah keluar.

Tatkala 'Aisyah keluar, Rasulullah saw. memegang bajunya seraya bertanya dengan tertawa, "Bagaimana menurut mendapatmu wahai, Humayra?" 'Aisyah menjawab sementara cemburu menghiasi dirinya, "Aku lihat dia adalah wanita Yahudi." Maka Rasulullah saw. membantahnya dan bersabda, "Jangan berkata begitu… karena sesungguhnya dia telah Islam dan bagus keislamannya."

Selajutnya Shafiyyah berpindah ke rumah Nabi, dan itu menimbulkan kecemburuan istri-istri beliau yang lain karena kecantikannya. Mereka juga mengucapkan selamat atas apa yang telah Shafiyyah raih. Bahkan dengan nada mengejek mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing.

Bahkan suatu ketika sampai keluar dari lisan Hafshah kata-kata, "Anak seorang Yahudi" hingga menyebabkan Shafiyyah menangis. Tatkala itu Nabi saw. masuk sedangkan Shafiyyah masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"

Shafiyyah menjawab, "Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah anak seorang Yahudi."

Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya, engkau adalah seorang putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga seorang Nabi. Lantas dengan alasan apa dia mengejekmu ?"

Kemudian beliau saw. bersabda kepada Hafshah, "Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!"

Kata-kata Nabi itu menjadi penyejuk, keselamatan, dan keamanan bagi Shafiyyah. Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri Nabi yang lain maka Shafiyyah pun berkata, "Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?"

Shafiyyah r.a. wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun,ketika masa pemerintahan Mu'awiyah. Beliau dikuburkan di Baqi' bersama Ummuhatul Mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua.

Wallahu a'lam.[]

12.2.15

Tagged under: ,

Khaulah bint Tsa'labah : Wanita yang didengar oleh Allah dari langit ke-7

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Khaulah bint Tsa'labah : Wanita yang didengar oleh Allah dari langit ke-7

Beliau adalah Khaulah binti Tsa`labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa`labah Ghanam bin 'Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh perperangan yang disertai Rasulullah saw. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi'.

Khaulah binti Tsa`labah mendapati suaminya, Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat suaminya itu marah, sehingga dia berkata, "Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku." 

Kemudian, Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama kawan-kawannya. Beberapa lama setelahnya, dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru saja terjadi dalam sejarah Islam tersebut. 

Khaulah berkata, "Tidak…jangan! Demi Dzat yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya lah yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita."

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah saw., lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan berdialog dengan Nabi tentang perkataan suaminya. 

Rasulullah saw. bersabda, "Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya."

Wanita mukminah ini mengulangi perkatannya dan menjelaskan kepada Rasulullah saw. apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan suaminya, namun rasulullah saw. tetap menjawab, "Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya."

Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit seraya di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Kedua matanya nampak basah meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Dia yang tiada akan rugi siapapun berdoa kepada-Nya. 

Beliau berdo'a, "Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku."

Alangkah bagusnya seorang wanita mukminah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah saw. dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah Ta`ala. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.

Tiada henti-hentinya wanita ini berdo'a sehingga suatu ketika Rasulullah saw. pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah saw. sadar kembali, beliau bersabda, "Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan al-Qur`an tentang dirimu dan suamimu." 

Kemudian beliau membaca firman-Nya, 
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,…(sampai firman Allah ayat): "Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih."(Al-Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zhihar:

Nabi : Perintahkan kepadanya (suami) untuk memerdekan seorang budak

Khaulah : Ya Rasulullah dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.

Nabi : Jika demikian perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan berturut-turut

Khaulah : Demi Allah dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.

Nabi : Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin

Khaulah : Demi Allah ya Rasulullah dia tidak memilikinya.

Nabi : Aku bantu dengan separuhnya

Khaulah : Aku bantu separuhnya yang lain wahai Rasulullah.

Nabi : Engkau benar dan baik maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaulah dengan anak pamanmu itu secara baik. 

Maka Khaulah pun melaksanakannya.

Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak Adam a.s. yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.

Ummul mukminin, Aisyah r.a. berkata tentang hal ini, "Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah saw., dia berbincang-bincang dengan Rasulullah saw. sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa yang dia katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah…" (Al-Mujadalah: 1)

Inilah wanita mukminah didikan Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab r.a. saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata, "Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tatkala engkau berada di pasar Ukazh, engkau mengembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga engkau memiliki nama Amirul Mukminin. Bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Adzab Allah." Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.

Akan tetapi al-Jarud al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, "Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita!" Umar kemudian menegurnya, "Biarkan dia…tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya."

Dalam riwayat lain Umar bin Khaththab berkata, "Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya."

Wallahu a'lam

11.2.15

Tagged under: ,

Amr ibn al-Ash : Diplomat penakluk Mesir

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Amr ibn al-Ash : Sang penakluk Mesir

Amr ibn al-Ash, seorang sahabat Quraisy keturunan Bani Sahmi. Ayahnya bernama al-Ash ibn Wail ibn Hasyim ibn A'id ibn Sahm dan ibunya bernama Salma binti Harmalah atau lebih dikenal dengan julukan al-Naabighah (wanita bijak). Nama panggilan Amr adalah Abu Abdillah atau Abu Muhammad.

Awalnya, ia adalah orang yang sangat membenci Rasulullah saw. dan kaum muslimin. Kaum Quraisy pernah mengutusnya ke negeri Absinia (Habasy) sambil membawa berbagai hadiah untuk membujuk raja Najasy agar mau memulangkan kaum muslimin yang sedang berhijrah ke negeri tersebut. Tetapi misinya itu gagal karena Raja menolak untuk memulangkannya karena beberapa alasan, yang akhirnya membuat hadiah dari kaum Quraisy yang dibawa Amr dikembalikan. Atau sebagaimana kisahnya yang bisa dibaca disini.

Singkatnya, cahaya hidayah menerangi hati dan pikiran Amr sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Madinah menemui Rasulullah saw. Di perjalanan menuju Madinan, ia bertemu dengan Khalid ibn al-Walid dan Utsman ibn Thalhah, yang juga berniat menemui Nabi saw. Amr bertanya, "Kalian berdua hendak kemana?"

Mereka berdua menjawab, "Kami hendak menemui Muhammad untuk bersyahadat."

Amr senang mendengar jawaban mereka. Ia berujar, Aku pun pergi untuk tujuan yang sama!" Akhirnya, ketiga orang pemuka Quraisy itu berangkat bersama-sama menuju Madinah. Ketika Rasulullah saw. mendengar kedatangan mereka, beliau bersabda kepada para sahabat, Makkah telah datang menemui kalian dengan membawa para puteranya." Peristiwa keislaman mereka terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah. Setelah mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah saw., Amr menanyakan bagaimana cara menebus dosa-dosanya di masa lalu? Rasulullah bersabda, "Islam dan Hijrah memutuskan dosa-dosa yang telah lalu." (Musnad al-Imam Ahmad 13/135).

Ibn Abi Mualaikah meriwayatkan dari Thalhah ibn Ubaidillah bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sungguh, Amr ibn al-Ash termasuk orang yang baik dari suku Quraisy."

Amr menjadi juru runding bagi Muawiyah berhadapan dengan Abu Musa al-Asy'ari yang menjadi juru runding bagi Ali. Mereka sepakat mencopot Ali dan Muawiyah dari kekhalifahan. Setelah Abu Musa mencopot Ali dari jabatan khalifah, Amr berdiri kemudian mengangkat Muawiyah sebagai khalifah. Setelah menyadari bahwa Amr telah memperdaya dirinya, Abu Musa pergi meninggalkan semua orang.

Amr adalah orang yang cerdik dan banyak akal. Dikisahkan bahwa dalam sebuah peperangan, salah seorang panglima pasukan Romawi, Arthaphoon mengundang Amr ibn al-Ash ke bentengnya untuk berbincang-bincang. Sebelum itu, sebetulnya Arthaphoon telah memerintahkan salah seorang dari pasukannya untuk menimpahkan batu pada Amr ketika ia keluar dari benteng.

Dalam perbincangan itu, Arthaphoon memuji kecerdasan dan kecerdikan yang dimiliki Amr ibn al-Ash. Di ujung pembicaraan, Arthaphoon diberikan hadiah kepada Amr sebagai ungkapan rasa senangnya. Ketika hendak keluar dari benteng, Amr melihat gerakan-gerakan mencurigakan dari pasukan Romawi, seketika Amr berpikir bahwa mereka siap membunuhnya. Karena itu, ia menghentikan langkahnya dan kembali menemui Arthaphoon. Ketika keduanya berhadapan, Arthaphoon bertanya kepada Amr, "Kenapa engkau kembali?"

Amr menjawab, "Tuanku, aku lupa mengabarkan bahwa aku punya sepuluh orang sahabat, dan di antara mereka, aku adalah yang paling bodoh dan paling rendah kecerdasannya. Mereka adalah kepercayaan pimpinan kami. Pemimpin kami tidak mengambil suatu keputusan kecuali ia telah bermusyawarah dengan mereka. Pemimpin kami juga tidak akan mengirimkan sepasukan kecuali atas persetujuan mereka. Ketika aku merasakan kebaikan Tuan, aku ingin sekali membawa mereka untuk berbincang bersama Tuan, agar Tuan dapat mendengar langsung pembicaraan mereka dan mereka pun dapat hadiah seperti yang aku dapatkan."

Tentu saja Arthaphoon senang mendengar ujaran Amr. Menurutnya, itu merupakan kesempatan emas untuk menghancurkan musuhnya. Ia berpikir, bahwa dengan mengalahkan sepuluh orang bijak tersebut, berarti ia tidak perlu bersusah payah mengalahkan musuhnya. Maka, Arthaphoon memberikan isyarat kepada pasukannya agar membiarkan Amr pergi dengan selamat.

Di depan gerbang benteng, kuda tunggangan Amr setia menunggu tuannya. Ketika ia naik, kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya seakan-akan mengejek keluguan dan kotololan Artaphoon, sang panglima Romawi.

Pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab, Amr ibn al-Ash diperintahkan untuk membebaskan Mesir dai cengkeraman Romawi. Menyadari kekuatan Roma, Amr meminta khalifah untuk mengirimkan bala bantuan. Khalifah mengirimkan 4000 pasukan dengan 4 diantaranya sebanding dengan 1000 pasukan; mereka adalah al-Zubayr al-Awwam, Ubadah ibn al-Shamit, al-Miqdad ibn al-Aswad, dan Maslamah ibn Mukhlad. Akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan dan dapat membebaskan Mesir.

Ketika terjadi fitnah antara Ali dan Muawiyah, Amr berada di pihak Muawiyah. Ketika mendengar Amar ibn Yasir akan gugur, ia teringat sabda Rasulullah, "Amar akan dibunuh oleh golongan yang berdosa." Amr berkata, Seandainya aku mati dua puluh tahun lebih awal sebelum kejadian ini."

Wallahu a'lam.[]

10.2.15

Tagged under: ,

Said ibn Amir : Seorang pemimpin yang fakir

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Said ibn Amir : Pemimpin yang fakir

Said ibn Amir adalah seorang sahabat dari suku Quraisy keturunan Bani Jumah. Ayahnya bernama Amir ibn Hidzyam ibn Salaman ibn Rabiah dan ibunya bernama Ummu Said Arwa binti Abi Mu'ith yang tak lain merupakan saudari Uqbah ibn Mu'ith, salah seorang dedengkot kafir Quraisy yang sangat membenci Rasulullah.

Pamannya, Uqbah ibn Abu Mu'ith ditawan bersama 43 orang lain oleh kaum muslimin dalam perang Badar. Pulang dari Badar, Rasulullah saw. memerintahkan al-Nadhar ibn al-Harits  ibn Kildah dibunuh. Ali ibn Abi Thalib mendapatkan tugas untuk mengeksekusinya. Tiba di Irqi al-Zabiyah, Rasulullah memerintahkan Ashim ibn Tsabit untuk mengeksekusi Uqbah. Tetapi sebelum ia dipenggal, ia berkata, "Siapakah yang akan mengurus anak-anak, hai Muhammad?" Beliau bersabda, "Neraka (tempatmu)." Kemudian Ashim memenggal lehernya sampai tewas. Uqbah adalah orang yang menimpakan jeroan unta ke punggung Rasulullah saw. ketika beliau shalat di Ka'bah.

Said adalah seorang sahabat yang paling zuhud dan dekat kepada Nabi saw. Ia memeluk Islam sebelum penaklukan Khaibar dan iku tberhijrah ke Madinah. Ia ikut serta dalam perang Khaibar dan beberapa peristiwa lainnya. Ba'da Rasulullah saw. wafat, ialah yang sering memberikan nasihat kepada para Khalifah agar senantiasa takut kepada Murka Allah. Ia tergolong dan dikenal sebagai muslim yang sederhana, bahkan dapat dibilang seorang yang fakir. Itu dapat dilihat dari pakaiannya yang lusuh dan usang.

Suatu saat, ia pernah datang menghadap kepada Amirul Mukminin, Khalifah Umar ibn Khaththab, dan menasihatinya, "Wahai Umar, aku wasiatkan agar engkau takut kepada Allah dalam urusan manusia dan jangan sekali-kali takut terhadap manusia dalam urusan Allah. Janganlah ucapanmu menyalahi perbuatanmu, karena sebaik ucapan adalah yang sesuai dengan perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah mereka yang urusannya telah Allah pertanggungkan kepadamu, baik kaum muslimin yang jauh maupun yang dekat. Cintailah mereka seperti engkau mencintai dirimu dan keluargamu. Rasakan penderitaan mereka dan ajaklah mereka menuju jalan kebenaran selalu! Di jalan Allah jangan sekalipun engkau takut akan caci maki..."

Mendengar nasihatnya, Umar berkata, "Wahai Said, siapakah yang dapat mampu melakukan semua itu?"

Said menjawab, "Orang yang dipercayakan oleh Allah untuk mengurus ummat Muhammad sepeninggalnya, yang ia tak pernah menjadikan perantara apapun antara dirinya dan siapa pun kecuali Allah."

Umar kemudian berkata, "Mulai sekarang, engkau ku angkat menjadi Gubernur Homs, lakukanlah tugasmu dengan baik."

Namun, Said menolak dan berkata, "Demi Allah, jangan engkau timpakkan fitnah kepadaku, hai Umar!"

Mendengar penolakannya Khalifah Umar berkata, "Kalian limpahkan seluruh urusan ke pundakku, dan kalian biarkan aku sendiri? Sudahlah, sekarang juga kau berangkat ke Homs!" Dengan berat hati Said berangkat ke Homs sembari memohon pertolongan Allah. Umar pun memberinya bekal yang cukup.

Ketika ia telah menjadi Gubernur Homs, istrinya sangat ingin sekali membeli pakaian dan barang-barang yang diinginkan banyak wanita lainnya. Said berkata, "Maukah engkau sesuatu yang lebih baik dari itu?"

Istrinya menjawab, "Apa itu?"

Said berkata, "Perdagangan di negeri ini sangat ramai. Aku akan memberikan harta kita kepada orang yang mampu memperdagangkan dan mengembangkannya."

Istrinya balas menjawab, "Bagaimana kalau rugi?"

Said berkata, "Kita buat jaminan kepadanya."

Isrinya pun menyetujui apa yang Said inginkan. Tanpa ragu-ragu lagi Said menyedekahkan semua hartanya kepada orang yang membutuhkan.

Hari-hari berlalu dan sang istri kian gencar bertanya kepada Said, kepada siapa harta mereka diinvestasikan. Said berupaya menenangkan istirnya dengan mengatakan bahwa harta mereka pasti berkembang dan berada di tangan orang yang terpercaya. Selang beberapa waktu, seorang sahabat yang tahu kemana persis harta itu disalurkan datang menemui Said. Mereka pun berbincang-bincang dan istri Said kembali menanyakan kembali soal keuntungan dari investasi harta mereka karena ia belum pernah menerima sepeser pun. Mendengar pertanyaan istri Said, sahabat Said tertawa sehingga menimbulkan kecurigaan di hati istri Said. Karena terus didesak, sahabat Said kemudian menceritakan bahwa semua hartanya disedekahkan kepada fakir miskin.

Tentu, jawaban itu membuat Istri Said marah. Ia menumpahkan kekecewaan kekecewaan kepada suaminya karena ia tidak jujur. Said berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Seandainya salah seorang dari wanita surga muncul ke bumi, niscaya bumi akan dipenuhi harum misik.' Aku, demi Allah tak ingin memilih mereka."

Suatu hari, Khalifah Umar r.a. mengunjungi Homs untuk melihat perkembangan kota itu di bawah pimpinan Said ibn Amir. Umar r.a. kemudian meminta data kaum fakir miskin untuk diberi sedekah. Mereka (pegawai di Homs) menuliskannya, "Yang termasuk fakir adalah si fulan, si fulan, si fulan, dan Said ibn Amir."

Khalifah Umar bertanya, "Siapakah Said ibn Amir yang kalian maksud?"

Mereka menjawab, "Gubernur kami."

Khalifah bertanya heran, "Gubernur kalian fakir? Lalu dikemanakan gajinya?"

Mereka menjawab, "Ia menyedekahkan semuanya setiap kali ia menerimanya." Mendengar penjelasan mereka Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam pundi dan memerintahkan agar diberikan kepada Said untuk memenuhi kebutuhannya."

Ketika utusan Khalifah Umar datang membawa uang itu, Said mengembalikannya seraya mengucapkan istighfar. Sang istri yang mendengar dari balik tirai bertanya, "Adakah gerangan yang terjadi pada Amirul Mukminin, Umar ibn Khaththab?"

Said menjawab, "Ya. Sesuatu yang sangat besar."

Istrinya berkata, "Apakah kaum muslimin kalah dalam perang?"

Said menjawab, "Lebih dahsyat dari itu."

Istrinya berkata, "Apakah kiamat segera tiba?"

Said menjawab, "Lebih penting dari itu."

Istrinya makin penasaran dan bertanya, "Jadi, apa yang terjadi?"

Said menjawab, "Fitnah telah memasuki rumahku. Dunia datang untuk merusak akhiratku."

Sang istri kemudian berusaha menenangkan Said dan berkata, "Maka, jauhilah agar kau tenang."

Said pun kemudian mengumpulkan kembali harta yang didapatnya dari Khalifah lalu memasukkannya ke dalam pundi. Sejurus kemudian, semua uang itu dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Setelah itu hatinya kembali merasa tenang.

Said termasuk orang yang sangat zuhud dan tidak sedikit pun mempedulikan soal harta. Sikap dan perilakunya itu sangat kontras dengan kondisi para pemimpin saat ini. Banyak orang, yang mencari harta siang dan malam, bahkan menumpuk-numpuk harta, tetapi yang mereka dapatkan hanya kelelahan. Mereka tak sadar bahwa harta yang dikumpulkan akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah darimanapun dan dengan cara apapun harta itu didapat.

Saat Khalifah Umar berkunjung ke Homs, penduduk di wilayah itu mengadukan gubernur mereka Siad ibn Amir kepada Umar ibn al-Khaththab. Ada empat hal yang mereka adukan,

Pertama, gubernur tak pernah keluar menemui warga kecuali di akhir subuh.
Kedua, Said tidak pernah menerima tamu di waktu malam.
Ketiga, Setiap bulan, dua hari ia tak mau keluar menemui kami.
Keempat, Sesekali Said pingsan dan terjatuh.

Mendengar aduan mereka, Umar berpaling kepada Said ibn Amir dan bertanya, "Apa pembelaanmu terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan, hai Said?"

Said menjawab satu per satu aduan tersebut. Ia berkata, "Pertama, keluargaku tak punya pembantu. Jadi, di pagi hari aku membuat tepung untuk mereka. Setelah menjadi tepung aku membuat roti untuk mereka. Setelah itu, aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.

Kedua, aku membagi hari-hariku. Satu bagian untuk Tuhanku dan satu bagian untuk rakyatku. Waktu siang hari aku bersama mereka, sedangkan waktu malam aku bersama Tuhanku.

Ketiga, aku hanya memiliki satu potong pakaian. Setiap bulan aku mencucinya dua kali. Setelah itu, aku menunggu pakaianku kering dan kukenakan kembali untuk menemui mereka.

Keempat, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri --bersama orang Quraisy- bagaimana Khubaib ibn Adi disalib. Setiap kali aku teringat kejadian itu, pandanganku gelap dan aku jatuh pingsan."

Mendengar jawaban Said, Khalifah Umar menarik nafas dalam-dalam, kemudian meminta agar Said melanjutkan kembali tugasnya sebagai Gubernur, tetapi ia menolak.

Ibn al-Atsir menuturkan perbedaan pendapat tentang dimana Said ibn Amir wafat. Ada yang mengatakan ia wafat di Kaesaria, atau di Homs. Ada pula yang mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Riqqa.

Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

9.2.15

Tagged under: ,

Muaz ibn Amr ibn al-Jamuh : 'Cilik' pembunuh Firaun umat ini

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Muaz ibn Amr ibn al-Jamuh : Pembunuh Firaun umat ini.

Muaz ibn Amr ibn al-Jamuh adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, keturunan suku Khajraz dari keluarga Bani Sulami. Ia termasuk golongan pertama yang memeluk Islam dari kaum Anshar.

Ia menemukan Islam melalui Mush'ab ibn Umair dan ikut menyaksikan Baitaul Aqabah kedua ketika kalangan Anshar memilih dua belas pimpinan mereka. Keislaman Muaz ibn Amr seakan-akan menjadi penyelamat bagi ayahnya dari api neraka. Dialah yang mengajak ayahnya untuk mengahadiri majelis ilmu yang digelar oleh Mush'ab ibn Umair. Ternyata, penuturan dan penjelasan Mush'ab menarik hatinya sehingga ia memutuskan untuk bersyahadat.

Ketika Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke lembah Badar, sebenarnya Amr sangat ingin ikut serta, tetapi ia dilarang oleh istrinya, Hindun binti Amr ibn Haram dan anak-anaknya. Mereka mengatakan bahwa ia tak diwajibkan ikut untuk berperang dikarenakan ia memiliki cacat pada kakinya. Mereka juga berharap Rasulullah saw. melarangnya untuk ikut serta. Oleh sebab demikian, Amr memutuskan untuk tidak ikut serta dalam perang Badar. Ia benar-benar menyesali keputusan tersebut. Sehingga pada perang berikutnya --yaitu perang Uhud- ia bersikeras untuk ikut dalam barisan tentara Allah, meskipun dengan keadaannya yang telah diketahui. Ia pun syahid dalam perang (Uhud) itu.

Dalam perang Badar, putranya Muaz ibn Amr berhasil membunuh al-Hakam ibn Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahal, fir'aun ummat ini. Itulah salah satu perang penting Muaz sebagai bukti kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Abdul Malik ibn Hisyam menuturkan dari Ziad al-Bukai dari Ibn Ishaq bahwa ketika perang Badar berkecamuk, Muaz ibn Amr berhasil melukai dan memutuskan kaki Abu Jahal, lalu menjatuhkannya ke tanah. Tetapi Muaz pun terkena sabetan pedang Ikrimah ibn Abu Jahal hingga tangannya terluka meskipun tidak langsung putus.

Ternyata setelah diputus kakinya, Abu Jahal belum tewas. Ia masih dalam keadaan sekarat. Mu'awidz ibn Afra yang melihat musuh Allah itu masih bernapas, meyabetkan pedangnya, lalu bergegas meninggalkannya dalam keadaan sekarat. Ketika melihat musuh Allah itu masih juga belum tewas, Ibn Mas'ud mendekatinya dan menebaskan pedangnya hingga Abu Jahal tewas.

Hemat cerita,
Imam Muslim mencatat sebuah riwayat dalam kitab shahihnya, yang diriwayatkan dari salih ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Auf dari ayahnya dari Abdurrahman ibn Auf bahwa saat ia berdiri di tengah pasukan saat perang Badar, ia memandang ke kiri dan ke kanan, ternyata ia berdiri di antara dua pemuda yang masih belia. Ibn Auf berkata, "Seandainya saja aku berada di antara dua orang yang lebih kuat dari mereka."

Kemudian salah seorang dari kedua remaja itu memberi isyarat kepada temannya, dan remaja itu berkata kepada Abdurrahman ibn Auf, "Paman, tahukah orang yang bernama Abu Jahal?"

Abdurrahman ibn Auf menjawab, "Ya, aku tahu, apa yang hendak kau lakukan?"

Remaja itu menjawab, "Aku mendengar bahwa ia pernah mencaci Rasulullah saw. Maka, demi dzat yang menguasai diriku, aku bersumpah, jika aku melihatnya, takkan kubuarkan bayanganku meninggalkan bayangannya sampai ia mati terlebih dahulu dari kami!"

Abdurrahmah ibn Auf terkagum mendengar ucapan mereka. Tak lama kemudian ia melihat Abu Jahal di antara barisan musuh, maka ia katakan kepada remaja tadi, "Apakah kalian melihatnya? Itulah orang yang kalian cari."

Mereka tak menjawab ucapan Abdurrahman ibn Auf, tetapi langsung berlalri memburu Abu Jahal dan membunuhnya. Kemudian mereka berdua menghadap Rasulullah saw. dan menceritakan apa yang telah mereka lakukan. Beliau bertanya, "Siapa di antara kalian yang membunuhnya?"

Masing-masing menjawab, "Akulah yang membunuhnya."

Beliau bertanya lagi, "Apakah pedang kalian telah dibersihkan?"

Mereka menjawab, "Belum."

Lalu beliau melihat kedua pedang itu dan bersabda, "Kalian berdua memang telah membunuhnya."

Kedua remaja yang telah membunuh Abu Jahal adalah Muaz ibn Amr (14 tahun) yang mengorbankan sebelah tangannya terputus dan Mu'awidz ibn Afra (13 tahun) yang kemudian syahid di jalan Allah. Allahu Akbar!

Semoga Allah merahmati mereka.

Wallahu a'lam.[]

6.2.15

Tagged under: ,

Rafi ibn Khadij : Seorang yang Merindukan kematian

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Rafi ibn Khadij : Merindukan kematian

Rafi ibn Khadij adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar, yang berasal dari suku Aus, keturunan Bani Harits. Ayahnya bernama Khudaij ibn Rafi ibn Adi yang menikahi Halimah binti Mas'ud al-Bayadhiyah. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak, yaitu Rafi. Keluarga itu tumbuh menjadi salah satu benteng pertahanan Islam yang terus mengajak manusia untuk meninggikan kalimat Allah.

Istri Rafi ibn Khadij adalah Ummu Umais yang bersaudara dengan Muhammad dan Mahmud, putra Salamah. Rafi tengah berada di usia muda yang penuh semangat ketika mendengar bahwa Rasulullah dan para sahabatnya akan mencegat kafilah Quraisy yang pulang dari Syam. Kafilah yang membawa banyak barang dagangan itu dipimpin oleh Abu Sufyan ibn Harb. Namun, saat mengetahui rencana Nabi saw., Abu Sufyan langsung mengirim orang kepada kaum Quraisy untuk melindungi harta mereka. Dalam waktu yang singkat para pemimpin Makkah dapat memobilisasi pasukan untuk melindungi kafilah dagang mereka sekaligus menyerang kaum muslimin. Ketika pasukan Quraisy bergerak menuju Madinah, Abu Sufyan mengambil rute lain untuk menyelamatkan kafilahnya dan berhasil tiba di Makkah dengan selamat.

Meskipun telah dikabari bahwa kafilah mereka telah selamat tiba di Makkah, Abu Jahal bersikukuh memerangi keum muslimin di Badar. Ia memanas-manasi pasukan Quraisy untuk terus bergerak menghadapi kaum muslimin.

Rafi muda yang penuh harap sangat ingin ikut serta dalam pasukan Rasulullah menghadapi kaum musyrik. Namun, karena usianya masih terlalu muda, Rasulullah menyuruhnya pulang. Ketika Allah memberikan kemenangan gemilang kepada kaum muslimin, keinginan Rafi untuk ikut serta berjuang bersama Rasulullah semakin bergelora. Ia terus berlatih memanah hingga ia mahir mempergunakan senjata itu.

Ketika datang seruan untuk perang Uhud, Rafi takut Rasulullah kembali menyuruhnya pulang seperti saat perang Badar. Maka, ia bersiasat. Ia bergabung dalam barisan dengan memakai kasut yang tebal dan berjinjit agar tampak lebih tinggi. Sebenarnya, Nabi saw. sendiri telah mengetahui kecakapan Rafi menggunakan panah. Menjelang peperangan, seperti biasa Rasulullah saw. memeriksa barisan, dan ketika berhadapan dengan Rafi, beliau mengizinkannya ikut serta. Maka, Rafi segera menyiapkan senjatanya, lalu bergabung dengan pasukan Muslimin.

Saat perang mulai berkecamuk, Rafi menunjukkan kemahirannya memanah dan menjatuhkan musuh. Tapi, sebuah anak panah musuh menancap di dadanya sehingga tak ada jalan baginya kecuali mencabut anak panah tersebut. Sayang, anak panah itu patah dan patahannya tertinggal di dadanya. Melihat kejadian itu, Rasulullah menghampirinya dan bersabda, "Kelak di hari kiamat, aku akan menjadi saksimu." Luka tusukan panah itu sangat menyakitkan. Alih-alih mengerang dan mundur dari medan perang, patahan anak panah di dadanya itu semakin membuatnya semangat berperang. Ia telah lama memimpikan peperangan semacam ini. Meski luka-lukanya cukup parah, ia dapat pulih seperti sedia kala setelah peperangan usai. Ia pun ikut dalam peperangan Khandaq ketika kaum musyrik Quraisy dan sekutu mereka mengepung Madinah. Saat itu, hujan badai menghancurkan kemah pasukan Quraisy sehingga mereka putus asa dan pulang ke negeri mereka dengan perasaan terhina dan kecewa.

Semangat tinggi yang dimiliki Rafi telah mengantarkannya pada kemuliaan, baik dalam urusan agama, maupun dunia. Ia berusaha mengikuti berbagai kegiatan Nabi saw. dan ia pun tidak melupakan kewajiban untuk memenuhi keubutuhan pribadi dan keluarga. Setiap kali ada seruan untuk berjuang, ia langsung sigap dan segera bergabung dalam pasukan. Ketika lama tak ada peperangan, ia sibuk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhannya. Meski sering mendapatkan luka dari berbagai peperangan, Rafi dikaruniai usia yang panjang hingga 86 tahun.

Rafi termasuk sahabat Nabi saw. yang tidak suka menyembunyikan kebenaran. Sikapnya itu ia tunjukkan ketika dengan tegas bergabung dengan pasukan Ali ibn Abu Thalib dalam perang shiffin.

Ia pun termasuk sahabat yang meriwayatkan hadits. Di antara sahabat yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah ibn Umar, Mahmud ibn Labid, al-Saib ibn Yazid, Usaid ibn Zuhair, serta para sahabat lain. Dari kalangan tabiin juga ada yang mengambil riwayat darinya.

Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Rafi adalah sabda Rasulullah saw.: "Jika salah seorang di antara kalian memiliki tanah kosong, tanamilah atau berikanlah kepada saudaranya untuk dimanfaatkan." Diriwayatkan dari Muhammad ibn Ishaq dari Ashim ibn Umar ibn Qatadah dari Mahmud ibn Labid dari Rafi ibn Khadij bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Perbanyaklah amal di waktu fajar, karena waktu itu lebih besar untuk mendatangkan pahala."

Rafi selalu memagang tegus sabda Rasulullah, "Sebaik-baik kalian adalah yang panjang usianya dan bagus amalnya."

Pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan, mata anak panah yang tertanam di dadanya bergeser yang menyebabkan infeksi sehingga ia jatuh sakit. Saat itulah ia terkenang kembali masa-masa perjuangannya bersama Rasulullah. Tak lama berselang, ia meninggal dunia. Di antara yang ikut menyalatinya adalah Abdullah ibn Umar. Saat itu Abdullah ibn Umar berkata, "Shalatlah kalian atas sahabat kalian sebelum matahari mengecil dan terbenam."

Riwayat itu disampaikan oleh Ibn al-Atsir dalam kitabnya. Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

5.2.15

Tagged under: ,

Sawad ibn Ghaziyah : Mencium perut Rasulullah

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Sawad ibn Ghaziyah : Mencuim perut Rasulullah.

Sawad ibn Ghaziyah adalah seorang sahabat Nabi saw. dari kalangan Anshar keturunan Bani Adi ibn al-Najjar. Ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari Bali Bali ibn Amr ibn al-Haf Quda'ah yang bersekutu dengan Bani Adi ibn al-Najjar. Sawad pernah ditugaskan menjadi petugas penari zakat untuk daerah Khaibar di masa Rasulullah saw. Suatu hari seseorang memberinya kurma janib (kurma unggulan), kemudian ia membawanya ke pasar dan membeli dua kilo kurma biasa dengan satu kilo kurma janib miliknya. Ketika hal itu didengar oleh Rasulullah saw., beliau melarangnya dan mengatakan bahwa kurma tidak boleh dijadikan alat tukar. Seharusnya ia menjual terlebih dahulu kurma miliknya, kemudian membeli kurma lain dengan uang hasil penjualan itu.

Sawad memiliki kedudukan tersendiri di sisi Rasulullah saw. Abu Ja'far al-Thabari menuturkan sebuah riwayat dari Ibn Humaid dari Salamah dari Muhammad ibn Ishaq dari Hibban ibn Wasi ibn Hibban ibn Wasi bahwa menjelang keberangkatan menuju Badar, Rasulullah saw. memeriksa barisan pasukan sambil memegang anak panah sebagai alat untuk merapikan barisan. Ketika melewati Sawad ibn Ghaziyah, Rasul melihat tubuhnya tidak dalam barisan sehingga beliau menyabetnya dengan anak panah agar masuk dalam barisan. Beliau bersabda, "Luruskan barisanmu, hai Sawad ibn Ghaziyah!"

Sawad berujar, "Wahai Rasulullah, engkau menyakitiku, padahal Allah mengutusmu membawa kebenaran."

Mendengar ujarannya, Rasulullah saw. langsung membuka pakaian yang menutupi perut beliau lalu bersabda, "Lakukanlah apa yang baru saja aku lakukan!"

Namun tiba-tiba Sawad memeluk dan mencium perut Rasulullah. Tentu saja beliau kaget, lalu bersabda, "Mengapa kau lakukan itu?"

Sawad menjawab, "Wahai Rasulullah, perang sudah di depan mata. Tidak ada jaminan bahwa aku akan selamat. Aku ingin di akhir hidupku ini kulitku bersentuhan dengan kulitmu."

Maka Rasulullah saw. mendoakan kebaikan untuknya. Dalam peperangan itu ia berhasil menawan Khalid ibn Hisyam al-Makhzumi. Ia juga ikut beberapa perang lain bersama Rasulullah saw.

Ibn al-Atsir dan para ulama lain tidak menyebutkan sama sekali kapan Sawad ibn Ghaziyah wafat. Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

4.2.15

Tagged under: ,

Akkaf ibn Wada'ah al-Hilali : Awalnya menolak untuk menikah

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Akkaf ibn Wada'ah al-Hilali : Awalnya menolak untuk menikah.

Akkaf ibn Wada'ah al-Hilali adalah seorang sahabat yang bertemu Rasulullah saw. ketika ia masih bujangan. Berlangsung percakapan antara keduanya sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam kita Musnad-nya.

Akkaf ibn Wada'ah al-Hilali datang menghadap Rasulullah saw. dan beliau bersabda, "Hai Akkaf, apakah kau punya istri?"

Akkaf menjawab, "Belum."

Rasulullah bertanya lagi, "Juga tidak punya seorang sahaya?"

Akkaf menjawab, "Tidak."

Rasulullah bertanya lagi, "Bukankah kau sehat dan mampu?"

Akkaf menjawab, "Benar, Alhamdulillah."

Rasulullah berkata, "Jika begitu, kau termasuk salah satu teman setan. Atau mungkin kau termasuk golongan pendeta Nasrani. Tapi, kau pun bisa termasuk bagian kami. Maka, berperilakukah seperti kami. Sesungguhnya menikah adalah salah satu sunnah kami. Seburuk-buruknya kalian adalah bujangan, dan sehina-hinanya orang mati di antara kalian adalah para bujangan. Celakalah engkau, wahai Akkah. Menikahlah!"

Akkaf menjawab, "Aku tidak akan menikah sampai engkau menikahkanku pada wanita pilihanmu, ya Rasulullah."

Rasulullah bersabda, "Aku telah menikahkanmu atas nama Allah dan berkah-Nya kepada Karimah binti Kultsum al-Humairi."

Berbahagialah Akkaf yang telah mendapat pencerahan untuk melaksanakan salah satu sunnah Nabi-Nya. Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

2.2.15

Tagged under: ,

Abdullah ibn Amr ibn al-Ash : sangat tekun beribadah

Sejarah Sahabat Nabi Lengkap
jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Abdullah ibn Amr ibn al-Ash : sangat tekun beribadah.

Abdullah ibn Amr ibn al-Ash adalah sahabat Nabi saw. yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Sahmi. Ayahnya bernama Amr ibn al-Ash, salah seorang diplomat Quraisy ulung yang sempat diutus Quraisy ke negeri Habasyah sebagai intel untuk menarik para Muhajirin yang berhijrah ke negeri Habasy. Ibunya bernama Raithah binti Munabbih ibn al-Hajjaj al-Sahmi. Abdullah lebih dahulu memeluk Islam daripada ayahnya, dan Allah menganugerahinya kecerdasan dan kekuatan hafalan.

Abu Hurairah r.a. pernah berkata, "Tak seorang pun yang melebihi aku dalam hafalan hadits Rasulullah saw. selain Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Ia selalu menulis (hadits) sedangkan aku tidak."

Abdullah sendiri pernah berkata, "Aku menghafal dari Nabi saw. seribu hadits."

Selain seorang sahabat yang terkemuka, Abdullah ibn Amr juga menjadi salah seorang yang sering dimintai pendapat. Ia rajin membaca dan mempelajari berbagai kitab, dan tekun mengaji Al-Quran. Ia pernah meminta izin kepada Nabi saw. untuk menuliskan hadits, dan beliau mengizinkannya. Abdullah berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku menuliskan apa yang aku dengar, baik dalam keadaan ridha maupun marah?"

Rasulullah menjawab, "Ya, aku tidak akan mengatakan kecuali kebenaran."

Ibn Ishaq menuturkan sebuah riwayat dari Abu Burdah dari Abdullah ibn Amr bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, berapa lama (sebaiknya) aku membaca Al-Quran?"

Rasulullah menjawab, "Khatamkan dalam waktu satu bulan."

Abdullah ibn Amr berkata, "Aku mampu lebih dari itu."

Rasulullah menjawab, "Khatamkan dalam waktu 20 hari."

Abdullah ibn Amr berkata, "Aku mampu lebih dari itu."

Rasulullah menjawab, "Khatamkan dalam waktu 15 hari."

Abdullah ibn Amr berkata, "Aku mampu lebih dari itu."

Rasulullah menjawab, "Khatamkan dalam waktu 10 hari."

Abdullah ibn Amr berkata, "Aku mampu lebih dari itu."

Rasulullah menjawab, "Khatamkan dalam waktu 5 hari."

Abdullah ibn Amr berkata, "Sebenarnya aku mampu lebih baik dari itu, tetapi Rasulullah saw. tidak memberi keringanan lagi kepadaku."

Allah menjadikan ummat Muhammad saw. sebagai ummat pertengahan, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas. Namun, Abdullah ibn Amr termasuk diantara muslim yang sangat mengutamakan ibadah sehingga cenderung mengabaikan kepentingan diri sendiri dan keluarga. Waktu makan malam ia habiskan untuk berzikir, sementara siang hari ia gunakan untuk berpuasa. Bahkan, ia sering mengkhatamkan Al-Quran hanya dalam waktu sehari semalam. Ia juga sengaja menjauhi keluarganya. Karena itulah ayahnya, Amr ibn al-Ash mengadu kepada Nabi saw. sehingga beliau meraih tangan Abdullah dan diletakkan ke tangan ayahnya, Amr ibn al-Ash, lalu beliau bersabda, "Kerjakanlah apa yang kuperintahkan kepadamu dan taati ayahmu!"

Ketika perang Shiffin meletus, ayahnya yang berada di barisan Muawiyah, mengajaknya bergabung seraya mengungkapkan sabda Nabi saw. yang pernah dikatakan kepada Abdullah, "Taatilah ayahmu!" Maka, dengan sangat berat hati ia mengikuti kemauan Amr ibn al-Ash, meskipun ia tidak ikut bertempur. Ketika Husain ibn Ali mencelanya karena bergabung di barisan Muawiyah, Abdullah berkata, "Demi Allah, aku tidak menghunus pedang, tidak melemparkan tombak, dan tidak melepaskan panah."

Abdullah ibn Amr ibn al-Ash meriwayatkan 700 hadits Rasulullah. Di usia senja ia mengalami kebutaan. Ia wafat pada usia 70 tahun lebih. Ada juga yang mengatakan 90 tahun lebih.

Wallahu a'lam. Semoga Allah merahmatinya.[]
Tagged under: ,

Dihyah al-Kalabi : Jibril turun menyerupai dirinya

jejakperadaban.com | Sejarah sahabat Nabi
Dihyah al-Kalabi : Jibril turun menyerupai dirinya

Dihyah al-Kalabi adalah sahabat Nabi dari suku al-Kalabi. Ayahnya bernama Khulaifah ibn Farwah ibn Fadhalah. Ia memiliki wajah yang menawan dan Jibril a.s. pernah turun mendatangi Rasulullah saw. dalam rupa Dihyah al-Kalabi. Diceritakan bahwa Rasulullah saw. hanya pernah melihat rupa asli Malaikat Jibril a.s. hanya dua kali saja.

Ibn al-Atsir mengatakan dalam kitabnya, "Ia (Dihyah) adalah sahabat Rasulullah yang ikut dalam perang Uhud dan peperangan lain. Malaikat Jibril sering datang kepada Rasulullah dalam rupa dirinya. Rasulullah pernah mengutusnya kepada raja Mesir pada tahun keenam Hijriah. Ketika sang raja hendak menyatakan keimanannya, para pendeta Kristen koptik mencegahnya. Dihyah pulang dan menyampaikan kabar itu kepada Rasulullah saw. dan beliau bersabda, 'Allah akan mengokohkan kekuasaannya.'"

Ibn al-atsir menuturkan dari al-Sya'bi bahwa al-Mughirah berkata, "Dihyah al-Kalabi menghadiahkan dua kasut terbuat dari kulit kepada Rasulullah, yang kemudian beliau kenakan."

Abu Ja'far al-Tharabi meriwayatkan dari Ibn Humaid dari Salamah dari Muhammad ibn Ishaq bahwa ketika masuk waktu Subuh, Rasulullah pergi meninggalkan Khandaq, lalu kembali ke kota Madinah, dan kaum Muslimin pun meletakkan senjata mereka. Saat datang waktu Zuhur, malaikat Jibril a.s. mendatangi beliau (sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Syihab al-Zuhri) dengan mengenakan surban dan menaiki keledai. Kemudian ia (Jibril) berkata, "Apakah engkau telah meletakkan senjata, wahai Rasulullah?"

Beliau menjawab, "Benar."

Jibril berkata, "Para Malaikat tidak pernah meletakkan senjata mereka, dan aku tidak kembali kecuali untuk urusan suatu kaum. Allah memerintahkanmu, Muhammad, untuk pergi menuju Bani Quraizhah dan aku pun akan pergi ke sana."

Maka Rasulullah saw. memerintahkan penyerunya untuk menyampaikan pengumuman kepada semua orang: "Wahai kaum, siapa saja di antara kalian yang mendengar dan taat, jangan kalian mendirikan shalat Ashar kecuali di kampung Quraizah."

Rasulullah memerintahkan Ali ibn Abi Thablib untuk membawa panji kaum Muslimin menuju Bani Quraizah diikuti semua pasukan. Maka, Ali ibn Abi Thalib pun berjalan hingga tiba dekat benteng mereka. Ketika itulah terdengar teriakan Bani Quraizah yang melecehkan Rasulullah saw. sehingga membuat ia kembali ke perkemahan pasukan dan bertemu Rasulullah di perjalanan.

Ali berkata, "Wahai Rasulullah, sebaiknya engkau tidak mendekat ke tempat orang-orang yang terkutuk itu."

Rasulullah bertanya, "Mengapa? Bukankah kau mendengar mereka berkata buruk tentang diriku?"

Ali berkata, "Benar, wahai Rasulullah. Seandainya mereka melihatku, pasti mereka tidak akan berani mengatakan keburukan sedikit pun."

Ketika mendekati benteng mereka, Rasulullah bersabda, "Hai keturunan monyet, apakah (kalian ingin) Allah menghinakan kalian dan menurunkan siksa-Nya atas kalian?" (Disebut demikian karena kaum Yahudi membangkang dan sesat dianggap sebagai keturunan kaum Yahudi yang dulu membangkang pada Nabi Musa a.s. sehingga mereka dikutuk menjadi monyet)

Mereka menjawab, "Wahai Abul Qasim, kami tidak sebodoh (yang kau kira)." Maka Rasulullah saw. berjalan melewati sahabat sambil membawa dua terompet dari tanduk. Sebelum tiba di perkampungan Bani Quraizah beliau bertanya kepada para sahabat, "Apakah kalian melihat seseorang melewati kalian?"

Mereka menjawab, "Benar Rasulullah, Dihyah ibn Khulaifah al-Kalabi melewati kami menunggangi keledai putih berpelana sutra."

Rasulullah berkata, "Itu adalah Jibril, yang diutus kepada Bani Quraizah untuk mengguncangkan benteng mereka dan menyebarkan rasa takut dalam dada mereka."

Begitulah pertolongan dari langit turun meliputi kaum Muslimin tanpa seorang pun bisa mencegahnya. Sungguh Allah Maha Mengetahui keadaan Hamba-Nya. Mata-Nya selalu terjaga mengawasi dan menjaga setiap gerak langkah Rasulullah.

Dalam sebuah peperangan, Dihyah mendapatkan bagian rampasan berupa seorang perempuan Khaibar bernama Shafiyah binti Huyay. Kerena Allah hendak memuliakan perempuan itu, Rasulullah saw. membelinya dari Dihyah kemudian menikahinya. Sebagai masharnya adalah kemerdekaan Shafiyyah.

Setelah perang Yarmuk, Dihyah pergi ke Muzzah di dekat Damaskus. Ia menetap di sana sampai ajal menjemputnya pada masa Khalifah Muawiyah ibn Abu Sufyan. Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam []