300x250 AD TOP

10.2.15

Tagged under: ,

Said ibn Amir : Seorang pemimpin yang fakir

jejakperadaban.com | Sejarah Sahabat Nabi
Said ibn Amir : Pemimpin yang fakir

Said ibn Amir adalah seorang sahabat dari suku Quraisy keturunan Bani Jumah. Ayahnya bernama Amir ibn Hidzyam ibn Salaman ibn Rabiah dan ibunya bernama Ummu Said Arwa binti Abi Mu'ith yang tak lain merupakan saudari Uqbah ibn Mu'ith, salah seorang dedengkot kafir Quraisy yang sangat membenci Rasulullah.

Pamannya, Uqbah ibn Abu Mu'ith ditawan bersama 43 orang lain oleh kaum muslimin dalam perang Badar. Pulang dari Badar, Rasulullah saw. memerintahkan al-Nadhar ibn al-Harits  ibn Kildah dibunuh. Ali ibn Abi Thalib mendapatkan tugas untuk mengeksekusinya. Tiba di Irqi al-Zabiyah, Rasulullah memerintahkan Ashim ibn Tsabit untuk mengeksekusi Uqbah. Tetapi sebelum ia dipenggal, ia berkata, "Siapakah yang akan mengurus anak-anak, hai Muhammad?" Beliau bersabda, "Neraka (tempatmu)." Kemudian Ashim memenggal lehernya sampai tewas. Uqbah adalah orang yang menimpakan jeroan unta ke punggung Rasulullah saw. ketika beliau shalat di Ka'bah.

Said adalah seorang sahabat yang paling zuhud dan dekat kepada Nabi saw. Ia memeluk Islam sebelum penaklukan Khaibar dan iku tberhijrah ke Madinah. Ia ikut serta dalam perang Khaibar dan beberapa peristiwa lainnya. Ba'da Rasulullah saw. wafat, ialah yang sering memberikan nasihat kepada para Khalifah agar senantiasa takut kepada Murka Allah. Ia tergolong dan dikenal sebagai muslim yang sederhana, bahkan dapat dibilang seorang yang fakir. Itu dapat dilihat dari pakaiannya yang lusuh dan usang.

Suatu saat, ia pernah datang menghadap kepada Amirul Mukminin, Khalifah Umar ibn Khaththab, dan menasihatinya, "Wahai Umar, aku wasiatkan agar engkau takut kepada Allah dalam urusan manusia dan jangan sekali-kali takut terhadap manusia dalam urusan Allah. Janganlah ucapanmu menyalahi perbuatanmu, karena sebaik ucapan adalah yang sesuai dengan perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah mereka yang urusannya telah Allah pertanggungkan kepadamu, baik kaum muslimin yang jauh maupun yang dekat. Cintailah mereka seperti engkau mencintai dirimu dan keluargamu. Rasakan penderitaan mereka dan ajaklah mereka menuju jalan kebenaran selalu! Di jalan Allah jangan sekalipun engkau takut akan caci maki..."

Mendengar nasihatnya, Umar berkata, "Wahai Said, siapakah yang dapat mampu melakukan semua itu?"

Said menjawab, "Orang yang dipercayakan oleh Allah untuk mengurus ummat Muhammad sepeninggalnya, yang ia tak pernah menjadikan perantara apapun antara dirinya dan siapa pun kecuali Allah."

Umar kemudian berkata, "Mulai sekarang, engkau ku angkat menjadi Gubernur Homs, lakukanlah tugasmu dengan baik."

Namun, Said menolak dan berkata, "Demi Allah, jangan engkau timpakkan fitnah kepadaku, hai Umar!"

Mendengar penolakannya Khalifah Umar berkata, "Kalian limpahkan seluruh urusan ke pundakku, dan kalian biarkan aku sendiri? Sudahlah, sekarang juga kau berangkat ke Homs!" Dengan berat hati Said berangkat ke Homs sembari memohon pertolongan Allah. Umar pun memberinya bekal yang cukup.

Ketika ia telah menjadi Gubernur Homs, istrinya sangat ingin sekali membeli pakaian dan barang-barang yang diinginkan banyak wanita lainnya. Said berkata, "Maukah engkau sesuatu yang lebih baik dari itu?"

Istrinya menjawab, "Apa itu?"

Said berkata, "Perdagangan di negeri ini sangat ramai. Aku akan memberikan harta kita kepada orang yang mampu memperdagangkan dan mengembangkannya."

Istrinya balas menjawab, "Bagaimana kalau rugi?"

Said berkata, "Kita buat jaminan kepadanya."

Isrinya pun menyetujui apa yang Said inginkan. Tanpa ragu-ragu lagi Said menyedekahkan semua hartanya kepada orang yang membutuhkan.

Hari-hari berlalu dan sang istri kian gencar bertanya kepada Said, kepada siapa harta mereka diinvestasikan. Said berupaya menenangkan istirnya dengan mengatakan bahwa harta mereka pasti berkembang dan berada di tangan orang yang terpercaya. Selang beberapa waktu, seorang sahabat yang tahu kemana persis harta itu disalurkan datang menemui Said. Mereka pun berbincang-bincang dan istri Said kembali menanyakan kembali soal keuntungan dari investasi harta mereka karena ia belum pernah menerima sepeser pun. Mendengar pertanyaan istri Said, sahabat Said tertawa sehingga menimbulkan kecurigaan di hati istri Said. Karena terus didesak, sahabat Said kemudian menceritakan bahwa semua hartanya disedekahkan kepada fakir miskin.

Tentu, jawaban itu membuat Istri Said marah. Ia menumpahkan kekecewaan kekecewaan kepada suaminya karena ia tidak jujur. Said berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Seandainya salah seorang dari wanita surga muncul ke bumi, niscaya bumi akan dipenuhi harum misik.' Aku, demi Allah tak ingin memilih mereka."

Suatu hari, Khalifah Umar r.a. mengunjungi Homs untuk melihat perkembangan kota itu di bawah pimpinan Said ibn Amir. Umar r.a. kemudian meminta data kaum fakir miskin untuk diberi sedekah. Mereka (pegawai di Homs) menuliskannya, "Yang termasuk fakir adalah si fulan, si fulan, si fulan, dan Said ibn Amir."

Khalifah Umar bertanya, "Siapakah Said ibn Amir yang kalian maksud?"

Mereka menjawab, "Gubernur kami."

Khalifah bertanya heran, "Gubernur kalian fakir? Lalu dikemanakan gajinya?"

Mereka menjawab, "Ia menyedekahkan semuanya setiap kali ia menerimanya." Mendengar penjelasan mereka Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam pundi dan memerintahkan agar diberikan kepada Said untuk memenuhi kebutuhannya."

Ketika utusan Khalifah Umar datang membawa uang itu, Said mengembalikannya seraya mengucapkan istighfar. Sang istri yang mendengar dari balik tirai bertanya, "Adakah gerangan yang terjadi pada Amirul Mukminin, Umar ibn Khaththab?"

Said menjawab, "Ya. Sesuatu yang sangat besar."

Istrinya berkata, "Apakah kaum muslimin kalah dalam perang?"

Said menjawab, "Lebih dahsyat dari itu."

Istrinya berkata, "Apakah kiamat segera tiba?"

Said menjawab, "Lebih penting dari itu."

Istrinya makin penasaran dan bertanya, "Jadi, apa yang terjadi?"

Said menjawab, "Fitnah telah memasuki rumahku. Dunia datang untuk merusak akhiratku."

Sang istri kemudian berusaha menenangkan Said dan berkata, "Maka, jauhilah agar kau tenang."

Said pun kemudian mengumpulkan kembali harta yang didapatnya dari Khalifah lalu memasukkannya ke dalam pundi. Sejurus kemudian, semua uang itu dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Setelah itu hatinya kembali merasa tenang.

Said termasuk orang yang sangat zuhud dan tidak sedikit pun mempedulikan soal harta. Sikap dan perilakunya itu sangat kontras dengan kondisi para pemimpin saat ini. Banyak orang, yang mencari harta siang dan malam, bahkan menumpuk-numpuk harta, tetapi yang mereka dapatkan hanya kelelahan. Mereka tak sadar bahwa harta yang dikumpulkan akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah darimanapun dan dengan cara apapun harta itu didapat.

Saat Khalifah Umar berkunjung ke Homs, penduduk di wilayah itu mengadukan gubernur mereka Siad ibn Amir kepada Umar ibn al-Khaththab. Ada empat hal yang mereka adukan,

Pertama, gubernur tak pernah keluar menemui warga kecuali di akhir subuh.
Kedua, Said tidak pernah menerima tamu di waktu malam.
Ketiga, Setiap bulan, dua hari ia tak mau keluar menemui kami.
Keempat, Sesekali Said pingsan dan terjatuh.

Mendengar aduan mereka, Umar berpaling kepada Said ibn Amir dan bertanya, "Apa pembelaanmu terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan, hai Said?"

Said menjawab satu per satu aduan tersebut. Ia berkata, "Pertama, keluargaku tak punya pembantu. Jadi, di pagi hari aku membuat tepung untuk mereka. Setelah menjadi tepung aku membuat roti untuk mereka. Setelah itu, aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.

Kedua, aku membagi hari-hariku. Satu bagian untuk Tuhanku dan satu bagian untuk rakyatku. Waktu siang hari aku bersama mereka, sedangkan waktu malam aku bersama Tuhanku.

Ketiga, aku hanya memiliki satu potong pakaian. Setiap bulan aku mencucinya dua kali. Setelah itu, aku menunggu pakaianku kering dan kukenakan kembali untuk menemui mereka.

Keempat, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri --bersama orang Quraisy- bagaimana Khubaib ibn Adi disalib. Setiap kali aku teringat kejadian itu, pandanganku gelap dan aku jatuh pingsan."

Mendengar jawaban Said, Khalifah Umar menarik nafas dalam-dalam, kemudian meminta agar Said melanjutkan kembali tugasnya sebagai Gubernur, tetapi ia menolak.

Ibn al-Atsir menuturkan perbedaan pendapat tentang dimana Said ibn Amir wafat. Ada yang mengatakan ia wafat di Kaesaria, atau di Homs. Ada pula yang mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Riqqa.

Semoga Allah merahmatinya.

Wallahu a'lam.[]

0 comments:

Post a Comment